Karena
wasilah (perantara) yang dapat digunakan untuk bertawassul sangat banyak, maka
bentuk tawassulpun beraneka ragam. Secara garis besar dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1.
Tawassul
dengan amal shaleh sendiri
2.
Tawassul
dengan amal shaleh orang lain.
Para
ulama sepakat bahwa tawassul dengan amal shaleh sendiri seperti shalat, membaca
al-Qur’an, sedekah, dan lain sebagainya adalah bagian dari ajaran Islam. Dalilnya
adalah cerita tiga orang yang terjebak di dalam gua. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh sayyiduna Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu pada zaman
dahulu ada tiga lelaki berjalan kaki. Tidak lama kemudian turunlah hujan. Mereka
berteduh di dalam gua di sebuah gunung. Ketika mereka masih berada di dalam
gua, tiba-tiba ada batu besar yang jatuh sehingga menutup pintu gua. Merekapun terkurung
dan tidak dapat keluar. Sebagina di antara mereka berkata kepada yang lain, “Cobalah
berdo’a kepada Allah subhanahu wa taala dengan amal shaleh yang pernah kalian
lakukan.” Salah seorang di antara mereka berdo’a, “Ya Allah, dahlu aku
mempunyai orang tua yang lanjut usia. Setiap hari aku menggembala kambing dan
sepulangku darinya segera kuperahkan susu kambing dan kuberikan kepada mereka. Setelah
mereka meminumnya, barulah kuberikan kepada anak, isteri, dan seluruh anggota
keluargaku. Pada suatu hari aku pergi mencari nafkah hingga larut malam. Ketika
tiba di rumah, kuperahkan susu untuk mereka, tetapi ayah dan ibuku sudah tidur.
Aku tidak tega untuk membangunkan mereka. Kutunggu mereka di depan pintu kamar
sambil memegang segelas susu di tanganku. Pada saat itu anak-anakku menangis
dengan suara keras, merengek-rengek meminta susu yang kubawa, namun aku tidak
memberinya. Sebab, aku tidak akan memberikan susu itu kepada orang lain sebelum
kedua orang tuaku meminumnya. Keadaan ini
terus berlaku hingga waktu subuh. Pada saat itu, barulah kedua orang tuaku
bangun dan meminum susu yang kubawa. Ya Allah jika apa yang aku lakukan ini
menurut-Mu tulus karena mengharap keridhaan-Mu, maka berilah kami jalan keluar
dari kesulitan yang kami hadapi ini.” Batu besar itupun bergeser sedikit,
tetapi mereka belum bisa keluar.
Orang
kedua berkata,”Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui, dulu aku pernah jatuh cinta
dengan putri pamanku. Aku sangat menginginkannya, tetapi ia menolakku. Pada suatu
hari, ketika ia sangat membutuhkan harta untuk menyambung hidup, kuberi ia 120
dinar dengan syarat dia tidak menolak perlakuanku terhadapnya. Syarat itupun ia
terima. Ketika aku benar-benar menguasai dirinya, tiba-tiba ia berkata, ‘Haram
bagimu membuka stempel kecuali dengan cara yang benar’ (maksudnya, lelaki itu
tidak boleh berhubungan intim dengannya sebelum sah menjadi suami). Ketika
kudengar ucapannya itu, segera kutinggalkan dirinya, dan akupun terhindar dari
dosa. Padahal dia adalah wanita yang paling kucintai. Disamping itu, uang dinar
yang telah aku berikan kepadanya tidak aku tarik kembali. Ya Allah, jika
kulakukan ini tulus mengharap ridha-Mu, maka berilah kami jalan keluar dari
kesulitan yang kami hadapi saat ini.” Batu besar itu kembali bergeser, tetapi
mereka belum bisa keluar.
Sedangkan
orang ketiga berkata, “Ya Allah, aku memiliki banyak karyawan. Gaji mereka
selalu kubayar. Suatu ketika, salah seorang karyawanku tidak mengambil gajinya.
Akhirnya, kujadikan gajihnya tersebut sebagai modal kerja hinga berkembang
menjadi banyak. Setelah beberapa lama ia datang menemuiku, dan berkata, “wahai
hamba Allah, bayarlah gajiku.”
“Semua
onta, sapi, kambing, dan budak yang kau lihat ini adalah gajimu.” Jawabku.
“Hai
hamba Allah, jangan mempermainkanku.” Jawabnya.
“Aku
tidak mempermainkanmu.”
Ia kemudian
mengambil semua harta kekayaan itu dan tidak menyisakannya sedikitpun untukku.
Ya Allah jika yang aku lakukan ini tulus untuk mencari keridhaan-Mu, maka
berilah kami jalan dari kesulitan ini.”
Batu
besar itupun bergeser dan mereka dapat keluar. (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan
hadis di atas, para ulama sepakat bahwa bertawassul dengan amal shaleh dapat
dilakukan.
Selanjutnya,
tawassul dengan orang lain.
Wallahu
a’lam
Sumber: Mana dalilnya 1, karya al-Habib Noval/Novel bin Muhammad Alaydrus, Taman ilmu, Solo, hal. 114-116.