Dari Abi Juhaifah Wahb bin Abdillah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku tak pernah makan dengan bersandaran’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Kajian hadits kali ini masih berkaitan dengan adab-adab makan. Meski terkesan sederhana, ternyata masalah duduk bersandar menjadi perhatian Nabi Muhammad SAW. Begitu juga tentang menjilat tangan setelah makan, yang dicap jorok oleh sebagian orang modern. Nah, berikut ini kami sajikan sejumlah hadits yang bertalian dengan hal tersebut.
Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam bab Makanan bagian Makan sambil Bersandar.
Hadits ini menunjukkan adab Nabi SAW saat makan, yakni tidak menyandarkan badan pada dinding atau semacamnya, yang menunjukkan kemalasan, kesombongan, dan foya-foya. Ini hukumnya makruh, meskipun mungkin merupakan hal yang biasa pada masyarakat tertentu.
Yang lebih menunjukkan adab kesopanan adalah duduk dengan menekuk lutut di atas lantai, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa sahabat Anas RA berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW duduk dengan menekuk lututnya saat makan kurma.”
Hal yang demikian ini menunjukkan sikap tawadhu (rendah hati) di kala menikmati hidangan makanan dalam rangka mengikuti sunnah Nabi SAW.
Dari Ibn Abbas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika salah seorang di antara kalian makan makanan, janganlah membersihkan jari-jari tangannya sebelum membersihkan makanan-makanan yang menempel di jari-jarinya itu’.” (Muttafaq ‘Alaih).
Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam bab Makanan bagian Menjilati Jemari Tangan. Adapun Imam Muslim meriwayatkannya dalam bab Minuman bagian Bolehnya Menjilati Jari dan Nampan.
Berdasarkan hadits ini dibolehkan menjilati jari jemari seusai makan sebelum mencuci atau membersihkan jari-jari itu. Bahkan boleh juga menjilati sendok makan yang digunakannya. Bahkan dibolehkan menjilati jari jemari orang lain, jika orang lain itu adalah orang yang disayangi dan punya kelekatan hubungan dengannya, seperti anak, orangtua, guru, dan orang-orang yang dikasihi. Kenapa? Karena dua hal, yakni karena makruhnya meninggalkan sedikitpun dari sisa makanan yang disantap, dan ber-tabarruk (mengambil keberkahan) dari makanan dan dari orang-orang yang disebutkan itu, bila berkeinginan menjilati jari-jari mereka.
Dari Ka’ab bin Malik RA, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW makan dengan tiga jari. Selesai makan, beliau menjilati sisa makanan yang menempel di jari-jarinya itu.” (Diriwayatkan Muslim).
Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dalam bab Minuman bagian Bolehnya Menjilati Jari Tangan dan Wajan Makanan.
Dibolehkannya menjilati sisa makanan yang menempel pada tangan adalah pada saat usai makan. Jika menjilatinya saat jeda, hendaknya tidak dilakukan, karena dapat menimbulkan rasa mual. Demikian pula dibolehkannya makan dengan tiga jari, yakni jempol, telunjuk, dan jari tengah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Ath-Thabarani. Itu adalah kebiasaan umum Nabi Muhammad SAW, yang patut ditiru jika mampu, sebagai wujud mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Adapun makan dengan kurang dari tiga jari, hal itu menunjukkan perbuatan sombong, seolah-olah enggan makan, yang merupakan bentuk rizqi yang Allah Ta‘ala berikan. Sedangkan makan dengan menggunakan lebih dari tiga jari, menunjukkan keburukan dan kerakusan, yang hal itu seperti orang yang terburu-buru menghabiskan bagiannya dalam makanan.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW menyuruh untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel pada jari-jari dan wajan. Dan beliau bersabda, “Sungguh kalian tidak tahu, pada bagian makanan yang mana yang mengandung keberkahan itu.” (Diriwayatkan Muslim).
Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam bab Minuman bagian Bolehnya Menjilati Jari Tangan dan Wajan Makanan.
Bolehnya menjilati jari-jari tangan dan wajan makanan yang masih ada sisa makanan itu mengandung hikmah, yakni untuk mendapatkan keberkahan makanan dan menolak perbuatan yang menyia-nyiakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Hikmah lainnya adalah mengambil faidah seluruh bagian makanan, hingga tidak sedikit pun yang tersisa, karena kita tidak tahu pada bagian mana Allah Ta’ala jadikan keberkahan, kenikmatan, dan sebagainya dari makanan itu, serta menjadikan adab makan yang diajarkan dan dicontohkan Nabi SAW itu sebagai bentuk ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
copas dari
http://majalah-alkisah.com/index.php/zawiyah/68-kajian-hadist/3506-adab-makan--jangan-bersandar-dan-jangan-tersisa