Raja
Tubba’ melakukan perjalana dari Yaman ke berbagai negeri ditemani 400 orang
ulama. Setiapkali memasuki suatu negeri, rakyat negeri itu selalu
mengelu-elukan dan memuliakannya. Suatu ketika sampailah ia ke kota Makkah
al-Musyarrafah. Tak seperti penduduk negeri lainnya, warga Mekkah tidak memberikan
sambutan yang hangat. Sikap ini membuat
raja Tubba’ heran.
“Mengapa
penduduk negeri ini tidak memuliakan kita?” tanya raja kepada para ulama yang
menemaninya dalam perjalanan.
“Mereka
adalah penduduk Mekkah. Manusia sangat menghormati dan memuliakan mereka. Itulah
sebabnya mereka tidak memuliakan dan tidak mengagungkanmu,” jawab para ulama. Timbul
niat di dalam hati raja Tubba’ untuk menghancur leburkan Ka’bah, batu demi
batu. Allah Yang Maha Mengetahui seketika itu juga menurunkan bala’ berupa
penyakit di kepalanya, sehingga busuklah kepala sang raja. Orang tidak mau
duduk di dekatnya, karena bau busuk yang disebarkan oleh penyakit itu. Para
tabib berusaha mengobati, namun mereka tidak menemukan obat yang dapat
menyembuhkan penyakit itu. Para ulama yang menemaninya merasa penasaran.
“Mengapa
kami tak dapat menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit raja, padahal
telah banyak tabib yang memeriksanya?” tiba-tiba salah seorang ulama berkata
kepada raja, “akan kuberitahukan obat penyakitmu, tapi hanya kau seorang yang
boleh mendengar.”
Raja
Tubba’ kemudian memerintahkan semua orang yang sedang bersamanya untuk
meninggalkan mereke berdua. “Nah, mereka telah keluar, sekarang, katakanlah apa
obat penyakitku ini?”
“Akan
kuberitahukan obat itu, setelah kau ceritakan apa yang kau niatkan dalam hati
dan apa yang kau sembunyikan dalam batinmu,” jawab si ‘Alim itu.
“Aku
memang menyimpan niat buruk dalam hatiku, yaitu hendak menghancurkan rumah ini
(Ka’bah), batu demi batu, sebab mereka (penduduk Mekkah) tidak menghormati
kita,” ucap sang Raja.
“Ketahuilah,
niat jelek inilah yang menyebabkan Allah subhanahu wa taala murka dan memberimu
penyakit. Sekarang, jika engkau ingin sembuh, urungkan niatmu itu, semoga Allah
subhanhu wa taala mengampunimu,” saran si ‘Alim.
“Baiklah,
saat ini juga aku batalkan niat burukku,” kata sang Raja menyesali sikapnya. Seketika
itu juga, Allah subhanahu wa taala menyembuhkan penyakitnya.
Setelah
beberapa hari tinggal di kota Mekkah, sang Raja bersama rombongannya
melanjutkan perjalanan ke Madinah. Sesampainya di Madinah, para ulama yang
menemaninya berkata, “Kami ingin tinggal di sini.”
Saat
itu Madinah masih berupa hamparan tanah kosong yang tandus.
“Bukankah
kita telah sepakat untuk melakukan perjalanan bersama?” kata raja. “Tetapi kami
ingin tinggal di sini,” mereka bersikeras.
“Apakah
yang menyebabkan kalian ingin menetap di sini?” tanya raja.
“Sesungguhnya
tempat ini adalah tempat hijrahnya nabi (shallallahu alaihi wa sallam) akhir
zaman. Dalam waktu dekat beliau akan diutus dan berhijrah kemari. Kami ingin
anak cucu kami kelak menjadi pengikut dan sahabat beliau (shallallahu ‘alaihi
wa sallam).” Kata mereka.
“Jika
demikian, aku akan menitipkan kepada kalian sepucuk surat untuk nabi akhir
zaman. Serahkanlah surat itu jika ia sudah diutus dan berhijrah ke tempat ini.”
Kata raja.
Kemudian
raja Tubba’ menulis sepucuk suratyang bunyinya, “Aku adalah raja Tubba’ I, aku
beriman kepadamu dan meyakini ajaranmu.....” Surat itu ia stempel dan serahkan
kepada si Alim yang menyembuhkan penyakitnya.
“Simpan
baik-baik surat ini,” pesan raja.
Para
ulama pengikut raja Tubba’ adalah kakek moyang sahabat Anshar. Orang yang
dititipi surat adalah leluhur Abu Ayyub al-Anshari. ketika Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub menyerahkan surat itu.
Raja
Tubba’ meninggal tepat 1.000 tahun sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam diutus oleh Allah.
Catatan:
Sumber;
buku dengan judul "Kisah, dan hikmah dalam kalam Habib Muhammad bin Hadi Assegaf," (Solo; Pustaka
Zawiyah) 2010