Sabtu, 28 September 2013

Raja Tubba’



Raja Tubba’ melakukan perjalana dari Yaman ke berbagai negeri ditemani 400 orang ulama. Setiapkali memasuki suatu negeri, rakyat negeri itu selalu mengelu-elukan dan memuliakannya. Suatu ketika sampailah ia ke kota Makkah al-Musyarrafah. Tak seperti penduduk negeri lainnya, warga Mekkah tidak memberikan sambutan yang hangat.  Sikap ini membuat raja Tubba’ heran.

“Mengapa penduduk negeri ini tidak memuliakan kita?” tanya raja kepada para ulama yang menemaninya dalam perjalanan.
“Mereka adalah penduduk Mekkah. Manusia sangat menghormati dan memuliakan mereka. Itulah sebabnya mereka tidak memuliakan dan tidak mengagungkanmu,” jawab para ulama. Timbul niat di dalam hati raja Tubba’ untuk menghancur leburkan Ka’bah, batu demi batu. Allah Yang Maha Mengetahui seketika itu juga menurunkan bala’ berupa penyakit di kepalanya, sehingga busuklah kepala sang raja. Orang tidak mau duduk di dekatnya, karena bau busuk yang disebarkan oleh penyakit itu. Para tabib berusaha mengobati, namun mereka tidak menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit itu. Para ulama yang menemaninya merasa penasaran.

“Mengapa kami tak dapat menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit raja, padahal telah banyak tabib yang memeriksanya?” tiba-tiba salah seorang ulama berkata kepada raja, “akan kuberitahukan obat penyakitmu, tapi hanya kau seorang yang boleh mendengar.”

Raja Tubba’ kemudian memerintahkan semua orang yang sedang bersamanya untuk meninggalkan mereke berdua. “Nah, mereka telah keluar, sekarang, katakanlah apa obat penyakitku ini?”

“Akan kuberitahukan obat itu, setelah kau ceritakan apa yang kau niatkan dalam hati dan apa yang kau sembunyikan dalam batinmu,” jawab si ‘Alim itu.

“Aku memang menyimpan niat buruk dalam hatiku, yaitu hendak menghancurkan rumah ini (Ka’bah), batu demi batu, sebab mereka (penduduk Mekkah) tidak menghormati kita,” ucap sang Raja.

“Ketahuilah, niat jelek inilah yang menyebabkan Allah subhanahu wa taala murka dan memberimu penyakit. Sekarang, jika engkau ingin sembuh, urungkan niatmu itu, semoga Allah subhanhu wa taala mengampunimu,” saran si ‘Alim.

“Baiklah, saat ini juga aku batalkan niat burukku,” kata sang Raja menyesali sikapnya. Seketika itu juga, Allah subhanahu wa taala menyembuhkan penyakitnya.

Setelah beberapa hari tinggal di kota Mekkah, sang Raja bersama rombongannya melanjutkan perjalanan ke Madinah. Sesampainya di Madinah, para ulama yang menemaninya berkata, “Kami ingin tinggal di sini.”

Saat itu Madinah masih berupa hamparan tanah kosong yang tandus.
“Bukankah kita telah sepakat untuk melakukan perjalanan bersama?” kata raja. “Tetapi kami ingin tinggal di sini,” mereka bersikeras.
“Apakah yang menyebabkan kalian ingin menetap di sini?” tanya raja.
“Sesungguhnya tempat ini adalah tempat hijrahnya nabi (shallallahu alaihi wa sallam) akhir zaman. Dalam waktu dekat beliau akan diutus dan berhijrah kemari. Kami ingin anak cucu kami kelak menjadi pengikut dan sahabat beliau (shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Kata mereka.

“Jika demikian, aku akan menitipkan kepada kalian sepucuk surat untuk nabi akhir zaman. Serahkanlah surat itu jika ia sudah diutus dan berhijrah ke tempat ini.” Kata raja.

Kemudian raja Tubba’ menulis sepucuk suratyang bunyinya, “Aku adalah raja Tubba’ I, aku beriman kepadamu dan meyakini ajaranmu.....” Surat itu ia stempel dan serahkan kepada si Alim yang menyembuhkan penyakitnya.

“Simpan baik-baik surat ini,” pesan raja.
Para ulama pengikut raja Tubba’ adalah kakek moyang sahabat Anshar. Orang yang dititipi surat adalah leluhur Abu Ayyub al-Anshari. ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub menyerahkan surat itu.

Raja Tubba’ meninggal tepat 1.000 tahun sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah.

Catatan:
Sumber; buku dengan judul "Kisah, dan hikmah dalam kalam Habib Muhammad bin Hadi Assegaf," (Solo; Pustaka Zawiyah) 2010