Tak lama saya berdoa, “Wahai Allah, pertemukan saya dengan guru
dari orang yang paling dicintai Rasul saw.” maka tak lama, saya masuk pesantren
Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi timur, dan setiap saat mahal
qiyam maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul saw,
dan dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul saw.
Dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah
Al Habib Umar bin Hafidh ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pada 1994.
Selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dengan tajam. Saya
hanya menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat beliau sudah naik ke mobil
bersama almarhum Alhabib Umar Maula khela, maka Guru Mulia memanggil Hb Nagib
Bin Syeikh Abubakar. Guru mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke
Tarim, Hadramaut, Yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau. Guru saya Hb
Nagib bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa
arab, murid baru, dan belum tahu apa-apa, mungkin beliau salah pilih? maka Guru
Mulia menunjuk saya, “Itu… anak muda yang pakai peci hijau itu, itu yang saya
inginkan.” maka Guru saya Hb Nagib memanggil saya untuk jumpa beliau. Lalu Guru
Mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka, “Siapa namamu?”
dalam bahasa arab tentunya. Saya tak bisa menjawab karena tak faham, maka guru
saya Hb Nagib menjawab, “Kau ditanya siapa namamu!” maka saya jawab nama saya,
lalu Guru Mulia tersenyum. Keesokan harinya saya jumpa lagi dengan Guru Mulia
di kediaman Almarhum Hb Bagir Alattas. Saat itu banyak para habaib dan ulama
mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Guru Mulia, maka Guru
Mulia mengangguk-angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka. Lalu Guru
Mulia melihat saya di kejauhan, lalu beliau berkata pada almarhum Hb Umar
Maulakhela, “Itu... anak itu... jangan lupa dicatat… ia yang pakai peci hijau
itu…!”
Guru Mulia kembali ke Yaman. Saya pun langsung ditegur guru saya,
Hb Nagib bin Syekh Abubakar, seraya berkata, “Wahai Munzir, kau harus siap-siap
dan bersungguh-sungguh. Kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat
sebelum siap.”
Dua bulan kemudian datanglah Almarhum Alhabib Umar Maulakhela ke
pesantren, dan menanyakan saya. Almarhum Hb Umar Maulakhela berkata pada Hb
Nagib, “Mana itu munzir anaknya Hb Fuad almusawa? Dia harus berangkat minggu
ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya.”
Maka Hb nagib berkata saya belum siap, namun almarhum Hb Umar
Maulakhela dengan tegas menjawab, “Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum
untuk harus berangkat, ini permintaan Al Habib Umar bin Hafidh. Ia harus
berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama.”
Saya persiapkan pasport dll., namun ayah saya keberatan. Ia
berkata, “Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak
teman di sana. Namun ke hadramaut itu ayah tak ada kenalan, di sana negeri
tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yg menjaminmu?”
Saya pun datang mengadu kepada Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar
bin Hud Alattas. Beliau sudah sangat sepuh dan beliau berkata, “Katakan pada
ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah!”
Saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya
tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat. Saat saya mesti berangkat ke
bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya
memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya. Saya kecewa namun saya
dengan berat tetap melangkah ke mobil travel yang akan saya naiki. Namun saat
saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh disana
ayah saya berdiri di pagar rumah dengan tangis melihat keberangkatan saya.
Beliau melambaikan tangan tanda ridho, rupanya bukan beliau tidak
ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat
berpisah dengan saya. Saya berangkat dengan airmata sedih.
BERSAMBUNG.....
Dikutip dari ebook cahaya cinta Habib Munzir al-Musawa
majalah al-Kisah no 20, tahun XI