Sabtu, 16 November 2013

1001 kisah teramat indah Habib Munzir bin Fuad al-Musawa bagian 3








Tak lama saya berdoa, “Wahai Allah, pertemukan saya dengan guru dari orang yang paling dicintai Rasul saw.” maka tak lama, saya masuk pesantren Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi timur, dan setiap saat mahal qiyam maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul saw, dan dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul saw.



Dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pada 1994. Selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dengan tajam. Saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama almarhum Alhabib Umar Maula khela, maka Guru Mulia memanggil Hb Nagib Bin Syeikh Abubakar. Guru mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim, Hadramaut, Yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau. Guru saya Hb Nagib bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru, dan belum tahu apa-apa, mungkin beliau salah pilih? maka Guru Mulia menunjuk saya, “Itu… anak muda yang pakai peci hijau itu, itu yang saya inginkan.” maka Guru saya Hb Nagib memanggil saya untuk jumpa beliau. Lalu Guru Mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka, “Siapa namamu?” dalam bahasa arab tentunya. Saya tak bisa menjawab karena tak faham, maka guru saya Hb Nagib menjawab, “Kau ditanya siapa namamu!” maka saya jawab nama saya, lalu Guru Mulia tersenyum. Keesokan harinya saya jumpa lagi dengan Guru Mulia di kediaman Almarhum Hb Bagir Alattas. Saat itu banyak para habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Guru Mulia, maka Guru Mulia mengangguk-angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka. Lalu Guru Mulia melihat saya di kejauhan, lalu beliau berkata pada almarhum Hb Umar Maulakhela, “Itu... anak itu... jangan lupa dicatat… ia yang pakai peci hijau itu…!”


Guru Mulia kembali ke Yaman. Saya pun langsung ditegur guru saya, Hb Nagib bin Syekh Abubakar, seraya berkata, “Wahai Munzir, kau harus siap-siap dan bersungguh-sungguh. Kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.”


Dua bulan kemudian datanglah Almarhum Alhabib Umar Maulakhela ke pesantren, dan menanyakan saya. Almarhum Hb Umar Maulakhela berkata pada Hb Nagib, “Mana itu munzir anaknya Hb Fuad almusawa? Dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya.”


Maka Hb nagib berkata saya belum siap, namun almarhum Hb Umar Maulakhela dengan tegas menjawab, “Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan Al Habib Umar bin Hafidh. Ia harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama.”


Saya persiapkan pasport dll., namun ayah saya keberatan. Ia berkata, “Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman di sana. Namun ke hadramaut itu ayah tak ada kenalan, di sana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yg menjaminmu?”


Saya pun datang mengadu kepada Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin Hud Alattas. Beliau sudah sangat sepuh dan beliau berkata, “Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah!”

Saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat. Saat saya mesti berangkat ke bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya. Saya kecewa namun saya dengan berat tetap melangkah ke mobil travel yang akan saya naiki. Namun saat saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh disana ayah saya berdiri di pagar rumah dengan tangis melihat keberangkatan saya.


Beliau melambaikan tangan tanda ridho, rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat berpisah dengan saya. Saya berangkat dengan airmata sedih.


BERSAMBUNG.....

Dikutip dari ebook cahaya cinta Habib Munzir al-Musawa

majalah al-Kisah no 20, tahun XI