Minggu, 25 Agustus 2013

Pandangan ulama seputar Hadits “Semua bid’ah adalah sesat”



Hadits yang menjadi acuan utama dalam pembahasan ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits, seperti imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi meriwayatkan hadits tersbut dengan sedikit perbedaan matan (teks hadits).

Berikut terjemahan hadits tersebut
‘Irbâdh bin Sâriyah berkata, “Suatu hari selepas Shalat Subuh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang menyentuh, sehingga air mata berlinang dan hati bergetar. Maka seorang sahabat berkata: “ Duhai Rasulullah, nasehat seperti tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapapun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka dia akan melihat perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafâur Râsyidîn yang mendapat petunjuk (dari Allah). Pegang erat sunah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsâtil umûr (hal-hal baru) karena sesungguhnya semua muhdâts (yang baru) itu bid’ah dan semua bid’ah  adalah sesat.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibbân, dan Tirmidzi)

Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para wali-Nya Allah taala. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah pemahaman terhadap ucapan Rasulullah shallahu alaihi wa sallam mari kita simak penjelasan imam Nawawai berikut. Imam Nawawi berkata, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam “Dan setiap bid’ah adalah sesat” merupakan hadîts yang bersifat ‘âm makhsûsh’. Sedangkan yang dimaksud bid’ah pada hadits di atas adalah sebagian bid’ah.

Para ulama sebagaimana imam Nawawi radhiyallahu anhu sepakat menyatakan  hadits di atas merupakan hadits yang bersifat ‘âm makhsûsh, artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumamnnya dibatasi oleh beberapa pengecualian. Salah contohnya adalah ucapan Nabi Khidir alaihissalam kepada Nabi Musa ‘alaihissalam untuk menjelaskan kenapa beliau merusak kapal. Allah taala mewahyukan dalam ( surah al-kahfi:79) yang artinya: “adapun bahtera (kapal) itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua bahtera.”

Dalam ayat di atas secara jelas nabi Khidir alaihissalam menyatakan alasan beliau merusak kapal tersebut karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas semua kapal. Jika kata “semua kapal” diartikan secara umum, maka semua jenis kapal apapun jenis keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaatnya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh raja tersebut. Inilah yang dimaksud dengan’âm makhsûs. Kata kullu (semua) dalam ayat ini bersifat ‘âm makhsûsh artinya semua akan dirampas akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal rusak atau kapal yang tidak bagus. Demikian pula kata “semua” yang terdapat dalam hadits di atas memiliki pemahaman bahwa semua bid’ah sesat, kecuali bid’ah yang tidak bertentangan dengan aturan – aturan agama Islam, seperti membaca maulid simtuddurar atau maulid al-habsyi, pembacaan burdah, tahlilan dll, yang semua itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam namun tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama Islam, dan ini dinamakan dengan bid’ah hasanah (bid’ah yang baik).

Dalam hadits yang diriwayatkan imam Muslim, Nasâi, Ibnu Majah, dari Jâbir bin Abdullâh al-Bajilî radhiyallahu anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Barangsiapa di dalam Islam membuat sebuah sunah (contoh perbuatan yang baik), maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa di dalam Islam membuat sunah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.”

Imam Nawawi radhiyallahu anhu menerangkan bahwa dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik dan peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang buruk.

Dalam hadits ini terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang menerangkan bahwa setiap hal-hal yang baru (bid’ah) itu sesat. Yang dimaksud hal-hal yang baru (bid’ah) itu sesat adalah hal-hal yang baru yang bertentangan dengan syariat agama Islam.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan  oleh Imam Bukhari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami yang tidak terdapat di dalamnya, maka dia tertolak. (HR. Bukhari)

“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak.” (HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).
“Barangsiapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka dia tertolak.” (HR. Muslim)

Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu anhu berkata:
Hadits ini secara tekstual (tampak) menunjukkan bahwa semua amal yang tidak ada perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah tertolak, namun secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah diterima.

Al-Hâfidzh ‘Abdullah al-Ghimâri radhiyallahu anhu menjelaskan hadits berikut
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak.” (HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits semua bid’ah adalah sesat” sekaligus menjelaskan arti bid’ah yang sesat seperti yang tampak dalam hadits di atas. Seandainya semua bid’ah itu sesat maka haditsnya akan berbunyi, “Barangsiapa membuat hal yang baru maka dia tertolak,” tetapi bunyi hadits tersebut  “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak.” (HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Maka sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua:
Pertama: segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan dia bertentangan dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil agama, inilah yang dinamakan bid’ah yang sesat.
Kedua: segala hal yang baru yang berasal dari agama, yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini benar dan diterima, inilah yang dinamakan dengan sunnah hasanah/bid’ah hasanah (sesuatu yang baru yang baik).

Wallahu a’lam

Sumber: buku Ahlul bid’ah hasanah jilid 1 karya al-Habib Noval bin Muhammad al-Aydrus (Solo).