Hadits
yang menjadi acuan utama dalam pembahasan ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh seorang sahabat yang bernama Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits,
seperti imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi
meriwayatkan hadits tersbut dengan sedikit perbedaan matan (teks
hadits).
Berikut
terjemahan hadits tersebut
‘Irbâdh
bin Sâriyah berkata, “Suatu hari selepas Shalat Subuh, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang
menyentuh, sehingga air mata berlinang dan hati bergetar. Maka seorang sahabat
berkata: “ Duhai Rasulullah, nasehat seperti tadi sepertinya sebuah nasehat
perpisahan lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?” Maka Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Aku wasiatkan kalian untuk
bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang
memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapapun di antara
kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka dia akan melihat perselisihan.
Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah
Khulafâur Râsyidîn yang mendapat petunjuk (dari Allah). Pegang erat sunah
tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsâtil
umûr (hal-hal baru) karena sesungguhnya semua muhdâts (yang baru)
itu bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu
Majah, Ibnu Hibbân, dan Tirmidzi)
Kalimat
terakhir dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas
inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para wali-Nya
Allah taala. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah pemahaman terhadap
ucapan Rasulullah shallahu alaihi wa sallam mari kita simak penjelasan
imam Nawawai berikut. Imam Nawawi berkata, sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam “Dan setiap bid’ah adalah sesat” merupakan hadîts
yang bersifat ‘âm makhsûsh’. Sedangkan yang dimaksud bid’ah pada
hadits di atas adalah sebagian bid’ah.
Para
ulama sebagaimana imam Nawawi radhiyallahu anhu sepakat menyatakan hadits di atas merupakan hadits yang bersifat
‘âm makhsûsh, artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi
keumumamnnya dibatasi oleh beberapa pengecualian. Salah contohnya adalah ucapan
Nabi Khidir alaihissalam kepada Nabi Musa ‘alaihissalam untuk
menjelaskan kenapa beliau merusak kapal. Allah taala mewahyukan dalam ( surah
al-kahfi:79) yang artinya: “adapun bahtera (kapal) itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusak bahtera itu,
karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua bahtera.”
Dalam
ayat di atas secara jelas nabi Khidir alaihissalam menyatakan alasan
beliau merusak kapal tersebut karena di tepi laut sana ada seorang raja yang
merampas semua kapal. Jika kata “semua kapal” diartikan secara umum, maka semua
jenis kapal apapun jenis keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaatnya kapal
itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh raja tersebut. Inilah
yang dimaksud dengan’âm makhsûs. Kata kullu (semua) dalam ayat
ini bersifat ‘âm makhsûsh artinya semua akan dirampas akan tetapi dengan
pengecualian, yakni kecuali kapal rusak atau kapal yang tidak bagus. Demikian
pula kata “semua” yang terdapat dalam hadits di atas memiliki pemahaman bahwa
semua bid’ah sesat, kecuali bid’ah yang tidak bertentangan dengan
aturan – aturan agama Islam, seperti membaca maulid simtuddurar atau maulid
al-habsyi, pembacaan burdah, tahlilan dll, yang semua itu tidak dicontohkan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam namun tidak bertentangan
dengan aturan-aturan agama Islam, dan ini dinamakan dengan bid’ah hasanah
(bid’ah yang baik).
Dalam
hadits yang diriwayatkan imam Muslim, Nasâi, Ibnu Majah, dari Jâbir bin
Abdullâh al-Bajilî radhiyallahu anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Barangsiapa di dalam Islam
membuat sebuah sunah (contoh perbuatan yang baik), maka ia memperoleh pahalanya
dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala
mereka sedikitpun. Barangsiapa di dalam Islam membuat sunah yang buruk, maka ia
memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi
sedikitpun dosa mereka.”
Imam
Nawawi radhiyallahu anhu menerangkan bahwa dalam hadits ini terdapat
anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat
sunah-sunah yang baik dan peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang buruk.
Dalam
hadits ini terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam, yang menerangkan bahwa setiap hal-hal yang baru (bid’ah) itu
sesat. Yang dimaksud hal-hal yang baru (bid’ah) itu sesat adalah hal-hal
yang baru yang bertentangan dengan syariat agama Islam.
Dalam
hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami yang tidak terdapat di
dalamnya, maka dia tertolak. (HR. Bukhari)
“Barangsiapa
membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber
darinya (agama), maka dia tertolak.” (HR
Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).
“Barangsiapa
mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka dia
tertolak.” (HR. Muslim)
Ketika
menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu anhu berkata:
Hadits
ini secara tekstual (tampak) menunjukkan bahwa semua amal yang tidak ada
perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah tertolak, namun
secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang
padanya terdapat perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik
dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah
diterima.
Al-Hâfidzh
‘Abdullah al-Ghimâri radhiyallahu anhu menjelaskan hadits berikut
“Barangsiapa
membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber
darinya (agama), maka dia tertolak.” (HR
Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadits
ini merupakan pengecualian bagi hadits “semua bid’ah adalah
sesat” sekaligus menjelaskan arti bid’ah yang sesat seperti yang tampak
dalam hadits di atas. Seandainya semua bid’ah itu sesat maka haditsnya
akan berbunyi, “Barangsiapa membuat hal yang baru maka dia tertolak,”
tetapi bunyi hadits tersebut “Barangsiapa
membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber
darinya (agama), maka dia tertolak.” (HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Maka
sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam ini memberikan pengertian
bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua:
Pertama:
segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan dia bertentangan dengan
kaidah-kaidah dan dalil-dalil agama, inilah yang dinamakan bid’ah yang
sesat.
Kedua:
segala hal yang baru yang berasal dari agama, yang bersumber dari agama atau
diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini benar
dan diterima, inilah yang dinamakan dengan sunnah hasanah/bid’ah hasanah
(sesuatu yang baru yang baik).
Wallahu
a’lam
Sumber:
buku Ahlul bid’ah hasanah jilid 1 karya al-Habib Noval bin Muhammad
al-Aydrus (Solo).