Minggu, 25 Agustus 2013

Pentingnya memilah makanan



oleh al-Habib Noval/Novel bin Muhammad al-'Aydrus (Solo)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa taala itu baik dan tidak mau menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah subhanahu wa taala itu memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka Allah subhanahu wa taala berfirman: ‘Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ (QS. al-Mukminun 23: 51) dan Allah subhanahu wa taala berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rejeki yang baik yang Aku berikan pada kalian’ (QS al-Baqarah:172). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyingung kisah orang yang bepergian lama, rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan tangannya ke langit untuk berdo’a, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana do’anya akan dikabulkan?”

Hadits yang cukup panjang ini memuat dua wahyu Allah subhanahu wa taala  yang intinya menganjurkan kita agar memilah makanan yang masuk ke dalam tubuh kita. Tak dapat dipungkiri bahwa makanan yang masuk ke dalam tubuh kita mempunyai peran penting dalam membentuk karakter (kepribadian) diri kita. Makanan akan sangat menentukan akankah kita menjadi insan yang dekat dengan Allah taala atau jauh dari-Nya?

Sesungguhnya Allah subhanahu wataala itu baik, mahasuci dari segala kekurangan. Tiada hal yang kurang dari Allah subhanahu wa taala. Segala kesempurnaan terhimpun pada-Nya. Oleh karena itu Allah subhanahu wa taala hanya mau menerima hal-hal yang baik. Hanya ucapan, perbuatan, dan harta derma yang baik yang diterima Allah subhanahu wa taala. Allah subhanahu wa taala berfirman yang artinya: “Kepada-Nyalah terangkat perkataan yang baik dan amal shaleh yang dinaikkan-Nya.....” (QS. Fathir 10).

Ucapan yang terbaik adalah kalimat “La ilaha Ilallah.” Ucapan yang diterima Allah subhanahu wa taala  adalah ucapan yang susunannya bagus serta dilandasi niat yang bagus. Seandainya susunan kalimat yang diucapkan seseorang baik tetapi dilandasi niat yang tidak baik, maka ucapan semisal ini ditolak oleh Allah subhanahu wa taala.

Sholat adalah salah satu misal. Dari ilmu fikih kita tahu bahwa sholat adalah ibadah yang terangkai dari gerakan dan ucapan. Surat al-Fatihah adalah bacaan yang mesti diucapkan dengan lisan dalam sholat. Bacaan ini harus benar-benar disampaikan dengan khusyuk dan tulus kepada Allah subhanahu wa taala. Apabila tidak, maka shalat yang dilaksanakan tidak akan diterima. Dalam salah satu hadits diriwayatkan bahwa apabila seseorang melaksanakan sholat tanpa disertai khusyuk, maka Allah subhanahu wa taala akan melemparkan shalat itu ke wajahnya seperti melemparkan kain usang yang kotor. Bagaimana tidak, Allah subhanahu wa taala  hanya mau menerima hal-hal yang baik. Karena itulah para ulama berkata: “Memperbagus amal itu jauh lebih baik dari pada memperbanyak amal.”

Bagaimanakah agar segala amal dan ucapan kita menjadi bagus dan berkualitas sehingga kelak diterima Allah taala? Mari kita perhatikan firman Allah taala yang artinya: “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh.” (QS. al-Mukminun 23: 51).

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa taala memerintahkan kaum mukminin agar mawas diri dalam memilih makanan dan minuman mereka, baru kemudian memerintahkan ketaatan. Mengapa demikian? Para ulama berpendapat bahwa makanan yang halal adalah energi yang menggerakkan manusia untuk berbuat baik. Tanpa makanan yang halal, amal sholeh mustahil ada, bahkan akan ditolak oleh Allah subhanahu wa taala. Sebagian ulama mengungkapkan bahwa apabila seseorang memakan makanan haram, maka selama beberapa hari amal ibadahnya tidak diterima.

Sepenggal khobar atau riwayat sahabat menyebutkan bahwa makanan yang haram bakal menggerakkan manusia untuk  berbuat haram. Begitupun sebaliknya, makanan yang halal akan menggerakkan manusia untuk berbuat yang halal atau ketaatan. Walhasil, bila kita ingin mengetahui haram atau halalnya makanan yang kita makan, maka kita bisa melihat tindak-tanduk kita sehari-hari. Manakah yang lebih dominan atau lebih sering kita lakukan, ketaatan atau maksiat? Inilah yang menjadi tolok ukur rejeki yang telah kita makan.

Terkadang makanan yang haram itu enak dan menggoda selera. Sedangkan makanan yang halal terkadang terasa kurang enak di lidah. Ada baiknya sesekali kita menikmati makanan halal yang enak dengan tujuan menumbuhkan rasa syukur di hati kita. Tak ada larangan bagi kaum muslimin untuk mengkonsumsi (memakan) aneka makanan yang enak selama makanan itu halal. Dalam catatan tarikh (sejarah) banyak diriwayatkan bahwa Baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam menyukai daging paha atas kambing atau unta. Sesekali makan makanan enak memang bisa menerbitkan rasa syukur kepada Allah subhanahu wa taala asalkan masih dalam porsi wajar dan tidak berlebihan. Rasa syukur semacam ini bisa mengalahkan shalat sunnah.

Dahulu Imam Syafi’i rahimahullah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wara’. Beliau hanya makan sedikit saja. Akan tetapi sewaktu bertamu di rumah muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal, beliau makan dengan lahap. Ketika ada orang bertanya mengenai sikap beliau yang tidak biasa, beliau menjawab: “Di sini semuanya halal. Aku makan banyak agar kuat beribadah.” Suatu kali guru saya (Habib Anis bin Alwi al-Habsyi) memantau kondisi kaum muslimin yang menghadiri haul. Kala itu mereka tengah asyik menyantap hidangan yang beliau sediakan. Di tengah situasi itu beliau menyaksikan seorang santri yang tidak mau menyentuh makanan sama sekali. Beliau menghampiri santri itu dan bertanya: “Kenapa kamu tidak ikut makan?” santri tadi menjawab: “Maaf bib, saya lagi mujahadah.” Mendengar ucapan itu beliau langsung memberikan teguran: “Mujahadah itu bagus, akan tetapi kamu salah memilih tempat dan waktu. Ada waktunya kita menahan diri dari makan, ada waktunya pula kita mesti makan-makan. Coba perhatikan, di hari Idul Adha kita diharamkan puasa lantaran umat Islam banyak menyembelih kurban. Seandainya kaum muslimin puasa semua, siapa yang akan makan daging kurban?”

Satu hal yang mesti kita lakukan berkaitan dengan kegiatan makan kita adalah meneliti halal atau tidaknya makanan yang kita telan. Jujur saja, sekarang ini kita semua tidak cukup hati-hati meneliti makanan, padahal dampak makanan haram begitu dahsyatnya. Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram lebih layak dibakar api neraka........” Oleh karena itu, hendaknya kita teliti betul makanan yang masuk ke dalam perut kita. Bila hendak makan di retoran atau rumah makan, ada baiknya kita bertanya mengenai komposisi menu yang tersedia di situ. Seandainya ada kandungan bahan yang haram, maka sebaiknya kita tinggalkan. Tak usah malu untuk menanyakan hal yang sangat penting bagi urusan agama kita. Mari kita ajarkan anak-anak kita untuk meneliti halal atau haramnya suatu makanan. Kita bimbing mereka agar memilih makanan-makanan yang mendapat label halal dari Majelis Ulama Indonesia. Tidak lupa kita nasehati mereka agar senantiasa menjauhi cara-cara yang tidak jujur dalam mencari rejeki. Dengan demikian, kelak mereka akan menjadi insan-insan yang wara’, yang tak mau gegabah dalam makan, minum dan segala aktivitas mereka.

Disalin dari
Majalah Cahaya Nabawiy, edisi 109, Dzulqa’dah 1433 H.