oleh al-Habib Noval/Novel bin Muhammad al-'Aydrus (Solo)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa taala
itu baik dan tidak mau menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah subhanahu
wa taala itu memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia
perintahkan kepada para rasul. Maka Allah subhanahu wa taala berfirman:
‘Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah
kebajikan’ (QS. al-Mukminun 23: 51) dan Allah subhanahu wa taala berfirman:
‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rejeki yang baik yang Aku
berikan pada kalian’ (QS al-Baqarah:172). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam menyingung kisah orang yang bepergian lama, rambutnya kusut,
berdebu, dan menengadahkan tangannya ke langit untuk berdo’a, ‘Wahai Rabb-ku,
wahai Rabb-ku,’ sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram,
dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana do’anya akan dikabulkan?”
Hadits
yang cukup panjang ini memuat dua wahyu Allah subhanahu wa taala yang intinya menganjurkan kita agar memilah
makanan yang masuk ke dalam tubuh kita. Tak dapat dipungkiri bahwa makanan yang
masuk ke dalam tubuh kita mempunyai peran penting dalam membentuk karakter
(kepribadian) diri kita. Makanan akan sangat menentukan akankah kita menjadi
insan yang dekat dengan Allah taala atau jauh dari-Nya?
Sesungguhnya
Allah subhanahu wataala itu baik, mahasuci dari segala kekurangan. Tiada
hal yang kurang dari Allah subhanahu wa taala. Segala kesempurnaan
terhimpun pada-Nya. Oleh karena itu Allah subhanahu wa taala hanya mau
menerima hal-hal yang baik. Hanya ucapan, perbuatan, dan harta derma yang baik
yang diterima Allah subhanahu wa taala. Allah subhanahu wa taala berfirman
yang artinya: “Kepada-Nyalah terangkat perkataan yang baik dan amal shaleh yang
dinaikkan-Nya.....” (QS. Fathir 10).
Ucapan
yang terbaik adalah kalimat “La ilaha Ilallah.” Ucapan yang diterima Allah subhanahu
wa taala adalah ucapan yang
susunannya bagus serta dilandasi niat yang bagus. Seandainya susunan kalimat
yang diucapkan seseorang baik tetapi dilandasi niat yang tidak baik, maka
ucapan semisal ini ditolak oleh Allah subhanahu wa taala.
Sholat
adalah salah satu misal. Dari ilmu fikih kita tahu bahwa sholat adalah ibadah
yang terangkai dari gerakan dan ucapan. Surat al-Fatihah adalah bacaan yang
mesti diucapkan dengan lisan dalam sholat. Bacaan ini harus benar-benar
disampaikan dengan khusyuk dan tulus kepada Allah subhanahu wa taala.
Apabila tidak, maka shalat yang dilaksanakan tidak akan diterima. Dalam salah
satu hadits diriwayatkan bahwa apabila seseorang melaksanakan sholat tanpa
disertai khusyuk, maka Allah subhanahu wa taala akan melemparkan shalat
itu ke wajahnya seperti melemparkan kain usang yang kotor. Bagaimana tidak,
Allah subhanahu wa taala hanya
mau menerima hal-hal yang baik. Karena itulah para ulama berkata: “Memperbagus
amal itu jauh lebih baik dari pada memperbanyak amal.”
Bagaimanakah
agar segala amal dan ucapan kita menjadi bagus dan berkualitas sehingga kelak
diterima Allah taala? Mari kita perhatikan firman Allah taala yang artinya:
“Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah amal
shaleh.” (QS. al-Mukminun 23: 51).
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa taala memerintahkan kaum mukminin agar mawas
diri dalam memilih makanan dan minuman mereka, baru kemudian memerintahkan
ketaatan. Mengapa demikian? Para ulama berpendapat bahwa makanan yang halal
adalah energi yang menggerakkan manusia untuk berbuat baik. Tanpa makanan yang
halal, amal sholeh mustahil ada, bahkan akan ditolak oleh Allah subhanahu wa
taala. Sebagian ulama mengungkapkan bahwa apabila seseorang memakan makanan
haram, maka selama beberapa hari amal ibadahnya tidak diterima.
Sepenggal
khobar atau riwayat sahabat menyebutkan bahwa makanan yang haram bakal
menggerakkan manusia untuk berbuat
haram. Begitupun sebaliknya, makanan yang halal akan menggerakkan manusia untuk
berbuat yang halal atau ketaatan. Walhasil, bila kita ingin mengetahui haram
atau halalnya makanan yang kita makan, maka kita bisa melihat tindak-tanduk
kita sehari-hari. Manakah yang lebih dominan atau lebih sering kita lakukan,
ketaatan atau maksiat? Inilah yang menjadi tolok ukur rejeki yang telah kita
makan.
Terkadang
makanan yang haram itu enak dan menggoda selera. Sedangkan makanan yang halal
terkadang terasa kurang enak di lidah. Ada baiknya sesekali kita menikmati
makanan halal yang enak dengan tujuan menumbuhkan rasa syukur di hati kita. Tak
ada larangan bagi kaum muslimin untuk mengkonsumsi (memakan) aneka makanan yang
enak selama makanan itu halal. Dalam catatan tarikh (sejarah) banyak
diriwayatkan bahwa Baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam menyukai
daging paha atas kambing atau unta. Sesekali makan makanan enak memang bisa
menerbitkan rasa syukur kepada Allah subhanahu wa taala asalkan masih
dalam porsi wajar dan tidak berlebihan. Rasa syukur semacam ini bisa
mengalahkan shalat sunnah.
Dahulu
Imam Syafi’i rahimahullah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wara’.
Beliau hanya makan sedikit saja. Akan tetapi sewaktu bertamu di rumah
muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal, beliau makan dengan lahap. Ketika ada orang
bertanya mengenai sikap beliau yang tidak biasa, beliau menjawab: “Di sini
semuanya halal. Aku makan banyak agar kuat beribadah.” Suatu kali guru saya
(Habib Anis bin Alwi al-Habsyi) memantau kondisi kaum muslimin yang menghadiri
haul. Kala itu mereka tengah asyik menyantap hidangan yang beliau sediakan. Di
tengah situasi itu beliau menyaksikan seorang santri yang tidak mau menyentuh
makanan sama sekali. Beliau menghampiri santri itu dan bertanya: “Kenapa kamu
tidak ikut makan?” santri tadi menjawab: “Maaf bib, saya lagi mujahadah.”
Mendengar ucapan itu beliau langsung memberikan teguran: “Mujahadah itu
bagus, akan tetapi kamu salah memilih tempat dan waktu. Ada waktunya kita
menahan diri dari makan, ada waktunya pula kita mesti makan-makan. Coba
perhatikan, di hari Idul Adha kita diharamkan puasa lantaran umat Islam banyak
menyembelih kurban. Seandainya kaum muslimin puasa semua, siapa yang akan makan
daging kurban?”
Satu
hal yang mesti kita lakukan berkaitan dengan kegiatan makan kita adalah
meneliti halal atau tidaknya makanan yang kita telan. Jujur saja, sekarang ini
kita semua tidak cukup hati-hati meneliti makanan, padahal dampak makanan haram
begitu dahsyatnya. Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram lebih layak dibakar api
neraka........” Oleh karena itu, hendaknya kita teliti betul makanan yang masuk
ke dalam perut kita. Bila hendak makan di retoran atau rumah makan, ada baiknya
kita bertanya mengenai komposisi menu yang tersedia di situ. Seandainya ada
kandungan bahan yang haram, maka sebaiknya kita tinggalkan. Tak usah malu untuk
menanyakan hal yang sangat penting bagi urusan agama kita. Mari kita ajarkan
anak-anak kita untuk meneliti halal atau haramnya suatu makanan. Kita bimbing
mereka agar memilih makanan-makanan yang mendapat label halal dari Majelis
Ulama Indonesia. Tidak lupa kita nasehati mereka agar senantiasa menjauhi
cara-cara yang tidak jujur dalam mencari rejeki. Dengan demikian, kelak mereka
akan menjadi insan-insan yang wara’, yang tak mau gegabah dalam makan, minum
dan segala aktivitas mereka.
Disalin
dari
Majalah
Cahaya Nabawiy, edisi 109, Dzulqa’dah 1433 H.