Foto diambil dari http://www.elhooda.net/2012/04/foto-konser-sholawat-dan-bedah-buku-ahlul-bidah-hasanah-2-sritex-arena-solo/
Sekarang
ini sering muncul pernyataan sekelompok orang yang menyatakan sesat
amalan-amalan para ulama zaman dahulu
seperti tahlilan, maulidan (pembacaan sejarah kehidupan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam), membaca manaqib, shalawatan, yasinan, dan sebagainya.
Bermodalkan kata “Bid’ah” dan kalimat “tidak ada tuntunannya” atau “tidak
dicontohkan oleh Nabi Shallahu alaihi wa sallam” mereka telah berani menyatakan
muslim yang lain sesat dan memvonisnya sebagai calon penghuni neraka. Di antara
mereka bahkan ada yang berani berkata, “Jangan ikuti kiyai (ulama), kamu akan
tersesat. Cukup ikuti al-Qur’an dan Sunah, kamu pasti akan selamat.”
Pemahaman
yang salah tentang sunah dan bid’ah telah membuat mereka terjebak dalam penyesatan,
pemusyrikan, dan pengkafiran terhadap muslim lain. Oleh karena itu, agar kita
tidak terjebak dalam hal yang sama, maka kita harus memahami makna sunah dan
bid’ah dengan benar, menurut al-Qur’an dan sunah sesuai penjelasan ulama, bukan
menurut hawa nafsu dan penafsiran akal kita sendiri Allah taala telah berfirman
yang artinya: “Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (orang-orang yang
berilmu) jika kalian tidak mengetahui.” (QS al-Anbiya, 21:7)
Arti
bid’ah menurut bahasa
Secara
bahasa bid’ah berarti sebagai berikut:
Penciptaan
sesuatu yang baru tanpa adanya contoh sebelumnya. Menurut al-Hafidzh Ibnu
Hajar, bid’ah secara bahasa berarti: segala sesuatu yang diadakan tanpa contoh
sebelumnya baik yang bersifat terpuji maupun tercela.
Dalam
kamus munjid, kata bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa adanya
contoh terlebih dahulu.
Arti
bid’ah secara istilah agama
Setelah
meneliti dan mempelajari beberapa hadits yang berkaitan dengan permasalahan
bid’ah, kemudian para ulama merumuskan arti bid’ah menurut syariat
(agama). Berikut beberapa pendapat dari para ulama tentang bid’ah:
Imam
Syafi’i rahimahullah berkata: Bid’ah terbagi menjadi dua yaitu bid’ah
mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Bid’ah
yang sesuai dengan sunah adalah bid’ah yang terpuji sedangkan yang
bertentangan dengan sunah adalah bid’ah yang tercela.
Imam
Syafi’i radhiyallahu anhu juga berkata bahwa hal-hal yang baru itu ada
dua:
1.
Hal-hal
yang bertentangan dengan al-Qur’an, sunah, dan ijma (kesepakatan) para
ulama. Inilah bid’ah yang sesat.
2.
Segala
hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunah (contoh dari
Rasulullah shallahu alaihi wa sallam), atsar (contoh dari
sahabat-sahabat Rasulullah), dan ijma ulama. Bid’ah jenis ini
tidaklah tercela.
Imam Nawawi radhiyallhu anhu berkata: bid’ah menurut
syariat adalah pengadaan sesuatu yang baru yang tidak ada di masa Rasulullah
shallahu alaihi wa sallam dan bid’ah itu terbagi dua, bid’ah hasanah (bid’ah
yang baik) dan bid’ah qabihah (bid’ah yang jelek).
Sang guru dan imam yang diakui keimanan dan kebesarannya serta
keahlian dan kemampuannya yang luar biasa dalam menguasai berbagai jenis ilmu,
Abu Muhammad Ibnu Abdul Aziz bin Abdussalam semoga Allah taala merahmati dan
meridhainya, dalam bagian akhir kitab al-Qawaid berkata, bid’ah terbagi
menjadi bid’ah wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah. Selanjutnya
beliau berkata, “Dan hal itu dapat diketahui dengan mengembalikan bid’ah tersebut
kepada kaidah-kaidah syariat. Jika dia masuk dalam kaidah-kaidah yang wajib,
maka dia bid’ah wajib. Jika masuk dalam kaidah haram, maka dia bid’ah
haram. Jika masuk dalam kaidah makruh, maka dia bid’ah makruh. Jika
masuk dalam kaidah sunah, maka dia bid’ah sunah. Jika masuk dalam kaidah
mubah, maka dia bid’ah mubah (boleh).
Imam Ghazali Radhiyallahu anhu berkata: Sesungguhnya bid’ah
yang tercela adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah-sunah yang
kuat. Adapun bid’ah yang membantu seseorang untuk berhati-hati dalam
beragama, maka dia adalah bid’ah yang terpuji.
Badrudin al-‘Aini dalam bukunya ‘Umdatul Qâri’ berkata: bid’ah
asalnya adalah segala sesuatu yang baru yang tidak di zaman Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam. Kemudian bid’ah dibagi menjadi dua, jika bid’ah
sesuai dengan syariat, maka itu adalah bid’ah hasanah (Bid’ah yang
baik). Sedangkan jika bid’ah itu dipandang sebagai sesuatu yang buruk
oleh syariat, maka bid’ah itu termasuk bid’ah mustaqbahah (buruk).
Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Sesungguhnya (para ulama)
sepakat menganjurkan (untuk membuat dan
mengamalkan bid’ah hasanah.
Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad radhiyallahu anhu menerangkan:
Bid’ah terbagi tiga
macam
Pertama: bid’ah
hasanah (baik) seperti pengumpulan
al-Qur’an oleh sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq, penyusunan diwan (buku
yang berisi daftar nama pasukan dan orang-orang yang memperoleh sedekah) ,
penyusunan mushaf al-Qur’an oleh sayyiduna Usman bin Affan dan
azan pertama pada pelaksanaan shalat Jum’at serta hukum memerangi para
pemberontak oleh sayyiduna Ali. Semoga Allah taala meridhai mereka
semua.
Kedua:bid’ah madzmûmah (jelek/tercela): dalam pemahaman zuhud, wara, dan qanaah saja. Yang termasuk
bid’ah jenis ini adalah berlebeih-lebihan dalam hal yang mubah (boleh)
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dll.
Ketiga madzmûmah (jelek/tercela) secara
mutlak, yaitu semua bid’ah yang bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an
dan sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau bertentangan dengan
kesepakatan para Ulama yang benar-benar memegang teguh agama.
Dari penjelasan ulama terkemuka di atas, jelaslah bahwa para ulama ahlus
sunnah (mereka yang mengamalkan sunah-sunah Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam) sepakat membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu: bid’ah
hasanah (yang baik) dan bid’ah dhalâlah (Bid’ah sesat).
Al-Hafidzh Ibnu Rajab berkata: yang dimaksud dengan bid’ah
adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada dalil yang mendasarinya dalam
syariat. Adapun segala sesuatu yang baru yang memiliki dalil yang bersumber
dari syariat, maka dia bukanlah bid’ah yang dimaksud, meskipun secara
bahasa dia dikatakan bid’ah.
Kesmipulan: segala sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam tergolong bid’ah. Para ulama kemudian membagi bid’ah
menjadi dua bagian yaitu bid’ah hasanah (yang terpuji) seperti
pembacaan syair-syair maulid al-Habsyi/shalawatan, memperingati hari lahirnya
Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dll. Sedangkan bid’ah yang
kedua adalah bid’ah yang sesat, seperti: karaokean dan semua hal-hal
yang bertentangan dengan aturan syariat (agama Islam).
Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu sesat. Kita lihat
dulu apakah itu bertentangan atau tidak dengan al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam. Bid’ah hasanah justru bisa membuat seseorang yang mengamalkannya
mendapat pahala.
Demikian uraian singkat tentang bid’ah ini. Semoga
bermanfaat. Mohon maaf atas segala kesalahan...
Sumber: buku Ahlul Bid’ah Hasanah I karya al-Habib Noval bin Muhammad al-Aydrus (Solo).