Senin, 19 Agustus 2013

Memahami bid’ah dengan benar



Foto diambil dari http://www.elhooda.net/2012/04/foto-konser-sholawat-dan-bedah-buku-ahlul-bidah-hasanah-2-sritex-arena-solo/


Sekarang ini sering muncul pernyataan sekelompok orang yang menyatakan sesat amalan-amalan para  ulama zaman dahulu seperti tahlilan, maulidan (pembacaan sejarah kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), membaca manaqib, shalawatan, yasinan, dan sebagainya. Bermodalkan kata “Bid’ah” dan kalimat “tidak ada tuntunannya” atau “tidak dicontohkan oleh Nabi Shallahu alaihi wa sallam” mereka telah berani menyatakan muslim yang lain sesat dan memvonisnya sebagai calon penghuni neraka. Di antara mereka bahkan ada yang berani berkata, “Jangan ikuti kiyai (ulama), kamu akan tersesat. Cukup ikuti al-Qur’an dan Sunah, kamu pasti akan selamat.”

Pemahaman yang salah tentang sunah dan bid’ah telah membuat mereka terjebak dalam penyesatan, pemusyrikan, dan pengkafiran terhadap muslim lain. Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam hal yang sama, maka kita harus memahami makna sunah dan bid’ah dengan benar, menurut al-Qur’an dan sunah sesuai penjelasan ulama, bukan menurut hawa nafsu dan penafsiran akal kita sendiri Allah taala telah berfirman yang artinya: “Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (orang-orang yang berilmu) jika kalian tidak mengetahui.” (QS al-Anbiya, 21:7)

Arti bid’ah menurut bahasa

Secara bahasa bid’ah berarti sebagai berikut:
Penciptaan sesuatu yang baru tanpa adanya contoh sebelumnya. Menurut al-Hafidzh Ibnu Hajar, bid’ah secara bahasa berarti: segala sesuatu yang diadakan tanpa contoh sebelumnya baik yang bersifat terpuji maupun tercela.
Dalam kamus munjid, kata bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu.

Arti bid’ah secara istilah agama
Setelah meneliti dan mempelajari beberapa hadits yang berkaitan dengan permasalahan bid’ah, kemudian para ulama merumuskan arti bid’ah menurut syariat (agama). Berikut beberapa pendapat dari para ulama tentang bid’ah:

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Bid’ah terbagi menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Bid’ah yang sesuai dengan sunah adalah bid’ah yang terpuji sedangkan yang bertentangan dengan sunah adalah bid’ah yang tercela.
Imam Syafi’i radhiyallahu anhu juga berkata bahwa hal-hal yang baru itu ada dua:
1.      Hal-hal yang bertentangan dengan al-Qur’an, sunah, dan ijma (kesepakatan) para ulama. Inilah bid’ah  yang sesat.
2.      Segala hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunah (contoh dari Rasulullah shallahu alaihi wa sallam), atsar (contoh dari sahabat-sahabat Rasulullah), dan ijma ulama. Bid’ah jenis ini tidaklah tercela.

Imam Nawawi radhiyallhu anhu berkata: bid’ah menurut syariat adalah pengadaan sesuatu yang baru yang tidak ada di masa Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dan bid’ah itu terbagi dua, bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah qabihah (bid’ah yang jelek).

Sang guru dan imam yang diakui keimanan dan kebesarannya serta keahlian dan kemampuannya yang luar biasa dalam menguasai berbagai jenis ilmu, Abu Muhammad Ibnu Abdul Aziz bin Abdussalam semoga Allah taala merahmati dan meridhainya, dalam bagian akhir kitab al-Qawaid berkata, bid’ah terbagi menjadi bid’ah wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah. Selanjutnya beliau berkata, “Dan hal itu dapat diketahui dengan mengembalikan bid’ah tersebut kepada kaidah-kaidah syariat. Jika dia masuk dalam kaidah-kaidah yang wajib, maka dia bid’ah wajib. Jika masuk dalam kaidah haram, maka dia bid’ah haram. Jika masuk dalam kaidah makruh, maka dia bid’ah makruh. Jika masuk dalam kaidah sunah, maka dia bid’ah sunah. Jika masuk dalam kaidah mubah, maka dia bid’ah mubah (boleh).

Imam Ghazali Radhiyallahu anhu berkata: Sesungguhnya bid’ah yang tercela adalah bid’ah  yang bertentangan dengan sunah-sunah yang kuat. Adapun bid’ah yang membantu seseorang untuk berhati-hati dalam beragama, maka dia adalah bid’ah yang terpuji.

Badrudin al-‘Aini dalam bukunya ‘Umdatul Qâri’ berkata: bid’ah asalnya adalah segala sesuatu yang baru yang tidak di zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian bid’ah dibagi menjadi dua, jika bid’ah sesuai dengan syariat, maka itu adalah bid’ah hasanah (Bid’ah yang baik). Sedangkan jika bid’ah itu dipandang sebagai sesuatu yang buruk oleh syariat, maka bid’ah itu termasuk bid’ah mustaqbahah (buruk).

Ibnu Hajar al-Haitami berkata: Sesungguhnya (para ulama) sepakat menganjurkan (untuk membuat dan  mengamalkan  bid’ah hasanah.
Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad radhiyallahu anhu menerangkan:
Bid’ah terbagi tiga macam
Pertama: bid’ah hasanah (baik)  seperti pengumpulan al-Qur’an oleh sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq, penyusunan diwan (buku yang berisi daftar nama pasukan dan orang-orang yang memperoleh sedekah) , penyusunan mushaf al-Qur’an oleh sayyiduna Usman bin Affan dan azan pertama pada pelaksanaan shalat Jum’at serta hukum memerangi para pemberontak oleh sayyiduna Ali. Semoga Allah taala meridhai mereka semua.
Kedua:bid’ah madzmûmah (jelek/tercela): dalam pemahaman zuhud, wara, dan qanaah saja. Yang termasuk bid’ah jenis ini adalah berlebeih-lebihan dalam hal yang mubah (boleh) seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dll.
Ketiga madzmûmah (jelek/tercela) secara mutlak, yaitu semua bid’ah yang bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau bertentangan dengan kesepakatan para Ulama yang benar-benar memegang teguh agama.

Dari penjelasan ulama terkemuka di atas, jelaslah bahwa para ulama ahlus sunnah (mereka yang mengamalkan sunah-sunah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam) sepakat membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu: bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah dhalâlah (Bid’ah sesat).

Al-Hafidzh Ibnu Rajab berkata: yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada dalil yang mendasarinya dalam syariat. Adapun segala sesuatu yang baru yang memiliki dalil yang bersumber dari syariat, maka dia bukanlah bid’ah yang dimaksud, meskipun secara bahasa dia dikatakan bid’ah.

Kesmipulan: segala sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tergolong bid’ah. Para ulama kemudian membagi bid’ah menjadi dua bagian yaitu bid’ah hasanah (yang terpuji) seperti pembacaan syair-syair maulid al-Habsyi/shalawatan, memperingati hari lahirnya Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dll. Sedangkan bid’ah yang kedua adalah bid’ah yang sesat, seperti: karaokean dan semua hal-hal yang bertentangan dengan aturan syariat (agama Islam).

Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu sesat. Kita lihat dulu apakah itu bertentangan atau tidak dengan al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Bid’ah hasanah justru bisa  membuat seseorang yang mengamalkannya mendapat pahala.

Demikian uraian singkat tentang bid’ah ini. Semoga bermanfaat. Mohon maaf atas segala kesalahan...



Sumber: buku Ahlul Bid’ah Hasanah  I karya  al-Habib Noval bin Muhammad al-Aydrus (Solo).