Sulthanul Qulub Habib Munzir al-Musawa ketika berkunjung ke Nagara, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Kenangan di bumi para wali (Tarim, Hadhramaut, Yaman)
Saya sampai di Tarim, Hadramaut, Yaman di kediaman Guru Mulia. Beliau
mengabsen nama kami, ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang
saya dan tersenyum indah.
Tak
lama kemudian terjadi perang Yaman Utara dan Yaman Selatan. Kami di
yaman selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati.
Kami pun harus berjalan kaki kemana-mana menempuh jalan 3-4 km untuk
taklim karena biasanya dengan mobil milik Guru mulia, namun dimasa
perang pasokan bensin sangat minim.
Suatu hari saya dilirik
oleh Guru Mulia dan berkata, “Namamu Munzir (munzir=pemberi
peringatan),” saya mengangguk, lalu beliau berkata lagi, “Kau akan
memberi peringatan pada jamaahmu kelak!” Maka saya tercenung dan
terngiang-ngiang ucapan beliau, “Kau akan memberi peringatan pada
jamaahmu kelak?” saya akan punya jamaah? saya miskin begini bahkan untuk
mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci.
Saya mau
mencucikan baju teman saya dengan upah agar saya kebagian sabun
cucinya, malah saya dihardik, “Cucianmu tidak bersih! Orang lain saja
yang mencuci baju ini.” Maka saya terpaksa mencuci dari air bekas
mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yang mengalir itulah
yang saya pakai mencuci baju saya.
Hari demi hari Guru Mulia
makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih
membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat
menginap, dan segala masalah rumah tangga santri. Saya tinggalkan
pelajaran demi bakti pada Guru Mulia membantu beliau, dengan itu saya
lebih sering jumpa beliau.
Dua tahun di Yaman, ayah saya sakit,
dan telepon, beliau berkata, “Kapan kau pulang wahai anakku? aku rindu”
Saya jawab, “Dua tahun lagi insya Allah ayah.” Ayah menjawab dengan
sedih di telepon, “Duh… masih lama sekali.” telepon ditutup, 3 hari
kemudian ayah saya wafat.
Saya menangis sedih, sungguh kalau
saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dengan
beliau… dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun
beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari
rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan
tangan sambil mengalirkan airmata… duhai… kalau saya tahu itulah
terakhir kali saya melihat beliau, rahimahullah.
BERSAMBUNG.....
Dikutip dari ebook cahaya cinta Habib Munzir al-Musawa
Majalah al-Kisah no 20 tahun XI
Sulthanul Qulub Habib Munzir al-Musawa ketika berkunjung ke Nagara, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. |
Kenangan di bumi para wali (Tarim, Hadhramaut, Yaman)
Saya sampai di Tarim, Hadramaut, Yaman di kediaman Guru Mulia. Beliau
mengabsen nama kami, ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang
saya dan tersenyum indah.
Tak lama kemudian terjadi perang Yaman Utara dan Yaman Selatan. Kami di yaman selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati. Kami pun harus berjalan kaki kemana-mana menempuh jalan 3-4 km untuk taklim karena biasanya dengan mobil milik Guru mulia, namun dimasa perang pasokan bensin sangat minim.
Saya mau mencucikan baju teman saya dengan upah agar saya kebagian sabun cucinya, malah saya dihardik, “Cucianmu tidak bersih! Orang lain saja yang mencuci baju ini.” Maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yang mengalir itulah yang saya pakai mencuci baju saya.
Hari demi hari Guru Mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap, dan segala masalah rumah tangga santri. Saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada Guru Mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.
Dua tahun di Yaman, ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata, “Kapan kau pulang wahai anakku? aku rindu” Saya jawab, “Dua tahun lagi insya Allah ayah.” Ayah menjawab dengan sedih di telepon, “Duh… masih lama sekali.” telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat.
Saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dengan beliau… dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan airmata… duhai… kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau, rahimahullah.
BERSAMBUNG.....
Dikutip dari ebook cahaya cinta Habib Munzir al-Musawa
Tak lama kemudian terjadi perang Yaman Utara dan Yaman Selatan. Kami di yaman selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati. Kami pun harus berjalan kaki kemana-mana menempuh jalan 3-4 km untuk taklim karena biasanya dengan mobil milik Guru mulia, namun dimasa perang pasokan bensin sangat minim.
Suatu hari saya dilirik
oleh Guru Mulia dan berkata, “Namamu Munzir (munzir=pemberi
peringatan),” saya mengangguk, lalu beliau berkata lagi, “Kau akan
memberi peringatan pada jamaahmu kelak!” Maka saya tercenung dan
terngiang-ngiang ucapan beliau, “Kau akan memberi peringatan pada
jamaahmu kelak?” saya akan punya jamaah? saya miskin begini bahkan untuk
mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci.
Saya mau mencucikan baju teman saya dengan upah agar saya kebagian sabun cucinya, malah saya dihardik, “Cucianmu tidak bersih! Orang lain saja yang mencuci baju ini.” Maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yang mengalir itulah yang saya pakai mencuci baju saya.
Hari demi hari Guru Mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap, dan segala masalah rumah tangga santri. Saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada Guru Mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.
Dua tahun di Yaman, ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata, “Kapan kau pulang wahai anakku? aku rindu” Saya jawab, “Dua tahun lagi insya Allah ayah.” Ayah menjawab dengan sedih di telepon, “Duh… masih lama sekali.” telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat.
Saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dengan beliau… dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan airmata… duhai… kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau, rahimahullah.
BERSAMBUNG.....
Dikutip dari ebook cahaya cinta Habib Munzir al-Musawa
Majalah al-Kisah no 20 tahun XI