Akhirnya karena ayah pensiun, maka ibunda membangun losmen kecil di
depan rumah berupa 5 kamar saja. Di sewakan pada orang yang baik-baik, untuk
biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya. Setiap malam saya
jarang tidur, duduk termenung di kursi penerimaan tamu yang cuma meja kecil dan
kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung,
melamun, berdzikir, menangis, dan shalat malam. Demikian malam-malam saya
lewati. Siang hari saya puasa Nabi Daud as, dan terus dilanda sakit asma yang
parah, maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa.
Berkata ibunda saya, “Kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada
satu yang gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu.” tapi apakah ucapan itu
kebenaran? Saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang
seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman
pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika
dipesan tamu. Sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah
untuk mondok. Maka saya pesantren di tempat Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
di Bukit Duri Jakarta Selatan. Namun hanya dua bulan saja, saya tidak betah dan
sakit-sakitan karena asma terus kambuh. Maka saya pulang. Ayah makin malu,
bunda makin sedih, lalu saya privat saja kursus Bahasa Arab di Kursus Bahasa
Arab Assalafi, pimpinan Almarhum Hb (Habib) Bagir Alattas, ayahanda dari Hb Hud
Alattas yang kini sering hadir di majelis kita di Almunawar. Saya harus pulang
pergi Jakarta-Cipanas yang saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dg ongkos sendiri,
demikian setiap dua kali seminggu. Ongkos itu ya dari losmen tersebut.
Saya selalu hadir maulid di almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar
bin Hud alattas yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada ongkos maka saya
numpang truk dan sering hujan-hujanan pula. Sering saya datang ke maulid beliau
malam jumat dalam keadaan basah kuyup dan saya diusir oleh pembantu dirumah
beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yang
kotor dan basah menginjaknya. Saya terpaksa berdiri saja berteduh di bawah
pohon sampai hujan berhenti dan tamu-tamu berdatangan. Maka saya duduk di luar
teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.
Saya sering pula ziarah ke Luar Batang, makam Al Habib Husein bin
Abubakar Alaydrus. Suatu kali saya datang lupa membawa peci, karena datang
langsung dari cipanas, maka saya berkata dalam hati, “Wahai Allah, aku datang
sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci.
Tapi uangku pas-pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan
dan ongkos pulangku kurang.”
Maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yang
termurah saat itu di emperan penjual peci. Saya membelinya dan masuk berziarah.
Sambil membaca yaasin untuk dihadiahkan pada almarhum, saya menangisi kehidupan
saya yang penuh ketidaktentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari
sanak kerabat, karena selalu dicemooh, mereka berkata, “Kakak-kakakmu semua
sukses. Ayahmu lulusan Makkah dan pula New York University, kok anaknya centeng
losmen.”
Maka saya mulai menghindari kerabat. Saat lebaranpun saya jarang
berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh. Walhasil dalam tangis
itu saya juga berkata dalam hati, “Wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli
peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih disisi Allah, pastilah kau
dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.”
Lalu dalam saya merenung, datanglah rombongan teman teman saya yang
pesantren di Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf dengan satu mobil. Mereka
senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan. Saya langsung teringat ini berkah
saya beradab di makam wali Allah.
Lalu saya ditanya dengan siapa dan mau kemana. Saya katakan saya
sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya saja di Pasar Sawo, Kebon Nanas,
Jaksel. Mereka berkata, “Ayo bareng saja, kita antar sampai Kebon Nanas.” maka
sayapun semakin bersyukur pada Allah karena memang ongkos saya tak akan cukup
jika pulang ke Cipanas.
Saya sampai larut malam di kediaman bibi dari ibu saya, di Pasar
Sawo, Kebon Nanas. Lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun
pulang ke Cipanas.
BERSAMBUNG...
Dikutip dari ebook cahaya cinta Habib Munzir al-Musawa
Judul diambil dari dari majalah al-kisah no 20 tahun XI