Kamis, 14 November 2013

1001 kisah teramat indah Habib Munzir bin Fuad al-Musawa bagian 2







Akhirnya karena ayah pensiun, maka ibunda membangun losmen kecil di depan rumah berupa 5 kamar saja. Di sewakan pada orang yang baik-baik, untuk biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya. Setiap malam saya jarang tidur, duduk termenung di kursi penerimaan tamu yang cuma meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis, dan shalat malam. Demikian malam-malam saya lewati. Siang hari saya puasa Nabi Daud as, dan terus dilanda sakit asma yang parah, maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa.



Berkata ibunda saya, “Kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yang gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu.” tapi apakah ucapan itu kebenaran? Saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu. Sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah untuk mondok. Maka saya pesantren di tempat Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan. Namun hanya dua bulan saja, saya tidak betah dan sakit-sakitan karena asma terus kambuh. Maka saya pulang. Ayah makin malu, bunda makin sedih, lalu saya privat saja kursus Bahasa Arab di Kursus Bahasa Arab Assalafi, pimpinan Almarhum Hb (Habib) Bagir Alattas, ayahanda dari Hb Hud Alattas yang kini sering hadir di majelis kita di Almunawar. Saya harus pulang pergi Jakarta-Cipanas yang saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dg ongkos sendiri, demikian setiap dua kali seminggu. Ongkos itu ya dari losmen tersebut.


Saya selalu hadir maulid di almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar bin Hud alattas yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada ongkos maka saya numpang truk dan sering hujan-hujanan pula. Sering saya datang ke maulid beliau malam jumat dalam keadaan basah kuyup dan saya diusir oleh pembantu dirumah beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yang kotor dan basah menginjaknya. Saya terpaksa berdiri saja berteduh di bawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu-tamu berdatangan. Maka saya duduk di luar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.


Saya sering pula ziarah ke Luar Batang, makam Al Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. Suatu kali saya datang lupa membawa peci, karena datang langsung dari cipanas, maka saya berkata dalam hati, “Wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci. Tapi uangku pas-pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang.”


Maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yang termurah saat itu di emperan penjual peci. Saya membelinya dan masuk berziarah. Sambil membaca yaasin untuk dihadiahkan pada almarhum, saya menangisi kehidupan saya yang penuh ketidaktentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh, mereka berkata, “Kakak-kakakmu semua sukses. Ayahmu lulusan Makkah dan pula New York University, kok anaknya centeng losmen.”

Maka saya mulai menghindari kerabat. Saat lebaranpun saya jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh. Walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati, “Wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.”


Lalu dalam saya merenung, datanglah rombongan teman teman saya yang pesantren di Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf dengan satu mobil. Mereka senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan. Saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah.


Lalu saya ditanya dengan siapa dan mau kemana. Saya katakan saya sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya saja di Pasar Sawo, Kebon Nanas, Jaksel. Mereka berkata, “Ayo bareng saja, kita antar sampai Kebon Nanas.” maka sayapun semakin bersyukur pada Allah karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke Cipanas.


Saya sampai larut malam di kediaman bibi dari ibu saya, di Pasar Sawo, Kebon Nanas. Lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun pulang ke Cipanas.


BERSAMBUNG...


Dikutip dari ebook cahaya cinta Habib Munzir al-Musawa

Judul diambil dari dari majalah al-kisah no 20 tahun XI