Kamis, 14 November 2013

1001 kisah teramat indah Habib Munzir bin Fuad al-Musawa bagian 1






Saat Habib Munzir wafat, sangat banyak kesaksian yang muncul atas kemuliaan sosok dai muda ini. Kisah demi kisah, dari masa kecilnya, masa belajarnya di Indonesia maupun di Hadhramuat Yaman, jatuh bangun dakwahnya di Cipayung dan Jakarta, kondisi-kondisi keseharian yang dialami beliau yang akrab dengan sejumlah penyakit berat yang menghampiri diri beliau, namun hal itu tidak menyurutkan sedikit juapun langkah kaki beliau dalam menapaki jalan dakwah, bermunculan ke muka publik.


Nama saya Munzir bin Fuad bin Abdurrahman al-Musawa. Saya dilahirkan di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, pada hari Jum’at 23 Februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393 H.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, saya (Habib Munzir) mendalami ilmu syari’ah Islam di madrasah ats-Tsaqafah Habib Abdurrahman as-Segaf, Bukit Duri, Jakarta Selatan, dan mengambil kursus bahasa Arab di LPBA as-Salafi, Kebon Nanas, Jakarta Timur.

Saya (Habib Munzir) adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. Ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anak-anaknya yang lain. Namun di masa baligh, justru saya yang putus sekolah. Semua kakak saya diwisuda, ayah-bunda sayapun bangga dengan mereka, namun merekea kecewa dengan saya, karena saya malas sekolah.

Kala itu, saya lebih senang hadir di majelis maulid Habib Umar bin Hud al-Attas (Cipayung), dan majelis ta’lim kamis sore di Empang, Bogor, yang pada masa itu diasuh oleh Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin al-Attas dengan kajian kitab Fathul Bari (syarah kitab shahih Bukhari). Sisa-sisa hari saya adalah bershalawat 1.000 kali di siang hari dan 1.000 kali di malam hari, dzikir beribu kali, puasa Nabi Daud AS, dan shalat malam berjam-jam. Namun, saya pengangguran, dan sangat membuat ayah dan bunda malu.

Ayah saya sepuluh tahun belajar dan tinggal di Mekkah. Guru beliau adalah sayyid Alwi al-Maliki, ayahnda sayyid Muhammad al-Maliki. Ayah saya juga belajar sekolah di Amerika Serikat, dan mengambil sarjana di New York University.

Almarhum ayah sangat malu. Beliau mumpuni (menguasai) dalam hal agama dan dalam kesuksesan dunia. Beliau berkata kepada saya, “Kau ini mau jadi apa? Jika mau jadi ahli agama, belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri. Jika ingin mendalami ilmu dunia, tuntutlah sampai keluar negeri. Namun saranku, tuntutlah ilmu agama. Aku sudah mendalami keduanya, dan aku tidak menemukan keberuntungan apapun dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri Barat meski aku lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses kecuali dengan kelicikan, saling sikut, dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu.”

Maka ayahandapun hidup dalam kesederhanaan di Cipanas, Cianjur, Puncak, Jawa Barat. Beliau lebih senang menyendiri dari ibu kota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya mengaji, membaca ratib, dan shalat berjamaah.

Saya memang sangat mengecewakan ayah-bunda, karena boleh dikatakan, “Dunia tidak, akhiratpun tidak.” Namun saya sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sering dikunjungi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menghibur saya jika saya sedih.

Suatu waktu saya bermimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya berkata, “wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa denganmu, ataukah matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk bahu saya dan berkata, “Munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah nerjumpa denganku.”

Sayapun terbangun.

Dikutip dari majalah al-kisah no 20 tahun XI