Saat
Habib Munzir wafat, sangat banyak kesaksian yang muncul atas kemuliaan sosok
dai muda ini. Kisah demi kisah, dari masa kecilnya, masa belajarnya di
Indonesia maupun di Hadhramuat Yaman, jatuh bangun dakwahnya di Cipayung dan
Jakarta, kondisi-kondisi keseharian yang dialami beliau yang akrab dengan
sejumlah penyakit berat yang menghampiri diri beliau, namun hal itu tidak
menyurutkan sedikit juapun langkah kaki beliau dalam menapaki jalan dakwah,
bermunculan ke muka publik.
Nama
saya Munzir bin Fuad bin Abdurrahman al-Musawa. Saya dilahirkan di Cipanas,
Cianjur, Jawa Barat, pada hari Jum’at 23 Februari 1973, bertepatan 19 Muharram
1393 H.
Setelah
menyelesaikan sekolah menengah atas, saya (Habib Munzir) mendalami ilmu
syari’ah Islam di madrasah ats-Tsaqafah Habib Abdurrahman as-Segaf, Bukit Duri,
Jakarta Selatan, dan mengambil kursus bahasa Arab di LPBA as-Salafi, Kebon
Nanas, Jakarta Timur.
Saya
(Habib Munzir) adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. Ayah
saya selalu memanjakan saya lebih dari anak-anaknya yang lain. Namun di masa
baligh, justru saya yang putus sekolah. Semua kakak saya diwisuda, ayah-bunda
sayapun bangga dengan mereka, namun merekea kecewa dengan saya, karena saya
malas sekolah.
Kala
itu, saya lebih senang hadir di majelis maulid Habib Umar bin Hud al-Attas
(Cipayung), dan majelis ta’lim kamis sore di Empang, Bogor, yang pada masa itu
diasuh oleh Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin al-Attas dengan kajian kitab
Fathul Bari (syarah kitab shahih Bukhari). Sisa-sisa hari saya adalah
bershalawat 1.000 kali di siang hari dan 1.000 kali di malam hari, dzikir
beribu kali, puasa Nabi Daud AS, dan shalat malam berjam-jam. Namun, saya
pengangguran, dan sangat membuat ayah dan bunda malu.
Ayah
saya sepuluh tahun belajar dan tinggal di Mekkah. Guru beliau adalah sayyid
Alwi al-Maliki, ayahnda sayyid Muhammad al-Maliki. Ayah saya juga belajar
sekolah di Amerika Serikat, dan mengambil sarjana di New York University.
Almarhum
ayah sangat malu. Beliau mumpuni (menguasai) dalam hal agama dan dalam
kesuksesan dunia. Beliau berkata kepada saya, “Kau ini mau jadi apa? Jika mau
jadi ahli agama, belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri. Jika ingin
mendalami ilmu dunia, tuntutlah sampai keluar negeri. Namun saranku, tuntutlah
ilmu agama. Aku sudah mendalami keduanya, dan aku tidak menemukan keberuntungan
apapun dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri Barat meski aku
lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses kecuali dengan
kelicikan, saling sikut, dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu.”
Maka
ayahandapun hidup dalam kesederhanaan di Cipanas, Cianjur, Puncak, Jawa Barat.
Beliau lebih senang menyendiri dari ibu kota, membesarkan anak-anaknya,
mengajari anak-anaknya mengaji, membaca ratib, dan shalat berjamaah.
Saya
memang sangat mengecewakan ayah-bunda, karena boleh dikatakan, “Dunia tidak,
akhiratpun tidak.” Namun saya sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dan sering dikunjungi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
mimpi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menghibur saya jika saya
sedih.
Suatu
waktu saya bermimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Saya berkata, “wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku
rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa
denganmu, ataukah matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk bahu saya dan berkata, “Munzir,
tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah nerjumpa denganku.”
Sayapun
terbangun.
Dikutip
dari majalah al-kisah no 20 tahun XI