Kamis, 07 November 2013

Hukum mengkafirkan atau memusyrikkan sesama Muslim




(oleh Habib Noval bin Muhammad al-‘Aydrus, Solo)


Saudaraku, di akhir zaman ini, banyak orang yang belum mengetahui dan belum memahami hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang menjadi musyrik, kufur, murtad, keluar dari Islam. Ketidaktahuan ini telah membuat banyak orang mengucapkan kalimat-kalimat yang dapat membuat mereka keluar dari Islam tanpa mereka sadari. Permasalahan ini sangat berbahaya, karena menyangkut keislaman kita. Para ulama menyebutkan bahwa seseorang yang tidak mengenal keburukan (kejahatan),  maka dia akan terjerumus ke dalamnya.


Kemusyrikan atau kekufuran merupakan dosa yang tidak terampuni kecuali dengan kembali memeluk Islam dan mengesakan Allah subhanahu wa taala. Penyakit yang berbahaya ini tenunya harus kita kenal dan hindari, agar kita selamat dari siksa pedih yang abadi. Sayangnya, tidak banyak orang-orang yang mempelajari permasalahan ini sampai tuntas. Akibatnya, hanya karena ada perbedaan pemahaman dalam tata cara beribadah, tidak sedikit orang yang terlalu mudah melontarkan kalimat, “Dia musyrik,” atau “kamu syirik,” “itu perbuatan syirik,” dan sejenisnya kepada sesama Muslim yang taat beribadah dan beriman kepada Allah subhanahu wa taala. Padahal dalam sebuah Hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذ كفّر  الرجل أخاه فقد باء بها أحدهما
“Jika seseorang mengkafirkan saudaranya (sesama Muslim), maka salah satu di antara keduanya menjadi kufur.” (HR: Muslim)

Dalam Hadits lain.
إذ قال  الرجل لأخيه يا كافر  فقد باء به أحدهما
Jika seseorang berkata kepada saudaranya (sesama muslim) ‘Hai kafir’, maka salah satu di antara keduanya kufur (kafir).” (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik para sahabat untuk tidak menuduh seseorang sebagai kafir dan tidak pula melaknat seorang muslim yang bermaksiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثلاث من أصل الإيمان : الكفّ عمّن قال لآ إله إلا الله ولا نكفره بذنب ولانخرجه من الإسلام بعمل, والجهاد ما ض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل, و الإيمان بالأقدار.
“ Tiga hal yang menjadi dasar iman, (pertama) adalah mencegah diri untuk tidak menyakiti orang yang telah mengucapkan tidak ada Tuhan kecuali Allah (seorang muslim). Kita tidak mengkafirkannya karena sebuah dosa dan tidak mengeluarkannya dari Islam karena sebuah perbuatan (amal). (Kedua), jihad telah berlaku sejak Allah mengutusku hingga nanti umatku yang paling akhir memerangi Dajjal. Kedzaliman orang yang dzalim maupun keadilan orang yang adil tidak akan dapat menghalanginya. (Ketiga), iman kepada berbagai takdir.” (HR Abu Dawud).

Sayidina ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang lelaki bernama ‘Abdullah yang suka menghibur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia kecanduan minuman keras dan sudah beberapa kali dihukum cambuk. Suatu hari, ketika sedang menjalani hukuman cambuk, seseorang berkata, “Ya Allah, laknatlah dia, betapa sering ia menjalani hukuman cambuk ini.” Mendengar laknat tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لا تلعنوه, فوالله ما علمت إنه يحب الله و رسوله
“Janganlah kalian melaknatnya. Demi Allah, sepengetahuanku dia adalah seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari)

Kita tentunya masih ingat kisah Usamah bin Zaid yang ditegur oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena membunuh seseorang yang mengucapkan kalimat syahadat. Pada saat itu Usamah dan sejumlah sahabat lainnya diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju sebuah daerah. Di sana terjadilah peperangan. Ketika peperangan sedang berkecamuk, Usamah dan seorang sahabat Anshar berhasil mengepung seorang musuh. Ketika akan dibunuh, tiba-tiba orang tersebut mengucapkan kalimat syahadat. Mendengar kalimat itu, sahabat Anshar tidak jadi membunuhnya, tetapi Usamah bin Zaid menikamnya sehingga tewas dengan ujung tombaknya. Ketika mendengar peristiwa tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah, “Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan La Ila ha Illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah)?” Usamah menyampaikan alasannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengapa ia tetap membunuh orang tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ia ucapkan kalimat itu hanya untuk melindungi dirinya dariku.” Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengulangi pertanyaan berikut:
أقتلته بعد ما قال لآ إله إلا الله
“ Apakah kau membunuhnya setelah dia mengucapkan tidak ada Tuhan kecuali Allah?”

Bahkan dalam riwayat lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Usamah, “Apakah kau telah membelah dadanya sehingga kau tahu dia telah mengucapkan kalimat itu atau tidak?”

Setelah menyimak keterangan di atas, maka hendaknya kita tidak terlalu mudah menyebut atau menuduh seorang muslim sebagai musyrik atau kafir. Kita harus memelajari terlebih dahulu kedudukan perbuatannya dalam  syariat, sehingga tidak terjerumus dalam kekufuran karena mengkafirkan atau memusyrikkan muslim yang lain.

Saudaraku, sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak  pernah khawatir umatnya akan menjadi musyrik. Yang beliau khawatirkan adalah kita akan terlalu mencintai dunia dan berlomba-lomba untuk memperebutkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إني لست أخشى عليكم أن تشركوا ولكنّي أخشى عليكم الدنيا أن تنافسوها

“Sesungguhnya aku tidak takut (tidak khawatir) kalian akan menjadi musyrik (menyekutukan Allah sepeninggalku nanti), akan tetapu aku takut (khawatir) kalian akan berlomba-lomba memperebutkan dunia.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Lalu, bagaimana seseorang dapat dikatakan musyrik atau kafir?

Saudaraku, perbedaan antara syirik dengan iman sangat tipis. Seseorang yang ke dokter dan meminum obat darinya dengan keyakinan bahwa si dokter dan obat itulah yang menyembuhkannya, maka dia telah syirik. Sebab dia telah meyakini bahwa ada yang mampu meberikan kesembuhan selain Allah. Tetapi, jika dia pergi ke dokter dan meminum obat dengan keyakinan yang Maha Penyembuh hanya Allah sedangkan dokter dan obat hanyalah sarana yang harus ia jalani, maka dia telah melakukan sebuah ibadah. Sebab berobat merupakan salah satu perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lihatlah, sangat tipis perbedaan antara syirik dan ibadah. Syirik seperti di atas hanya Allah yang dapat mengetahuinya, sebab letaknya di dalam hati. Kita tidak boleh menuduh seseorang yang pergi ke dokter sebagai seorang yang musyrik, sebab, kita tidak pernah mengetahui isi hatinya, apa niatnya. Jika memang dia menyatakan bahwa hanya dokter yang dapat menyembuhkan penyakitnya dan bukan Allah, maka barulah kita dapat menyatakan bahwa ia nyata-nyata telah kufur dan msuyrik. Agar tidak terjerumus dalam kesalahan besar karena menyebut seseorang telah musyrik, maka kita harus mengetahui perbuatan bagaimana yang dapat dihukumi sebagai sebuah kemusyrikan dan pelakunya sebagai seorang yang musyrik. Dalam buku Mafahim yajibu an tushah hah, karya almarhum Prof. Dr. Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani mengutip pendapat sayid Ahmad Masyhur al-Haddad yang berbunyi:

Para ulama sepakat bahwa kita tidak boleh mengkafirkan seorang muslim kecuali jika
1.      Ia tidak mengakui keberadaan Allah yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Agung, dan Maha Tinggi.
2.      Ia melakukan perbuatan yang nyata-nyata syirik, perbuatan yang tidap dapat ditakwilkan (diartikan lain) seperti nyata-nyata menyembah matahari, bulan, patung, dan sejenisnya.
3.      Ia mengingkari seorang Nabi.
4.      Ia mengingkari sesuatu yang telah jelas disebutkan oleh syariat.
5.      Ia mengingkari sesuatu yang diriwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak sahabat dari sekelompok sahabat lainnya)
6.      Ia mengingkari suatu bagian dari ajaran Islam yang telah disepakati.

Hal-hal yang disebutkan oleh syariat dengan jelas misalnya adalah keesaan Allah, masalah kenabian, keyakinan bahwa Rasulullah adalah penutup para Rasul, keyakinan bahwa kebangkitan terjadi di hari akhir, masalah hisab (hari perhitungan), hari pembalasan, surga dan neraka. Orang-orang yang mengingkari keberadaan hal-hal tersebut di atas, maka dia telah kufur.

Setiap muslim harus mengetahui semua hal yang dapat menyebabkan kekufuran, kecuali jika ia baru masuk Islam. Seorang yang baru masuk Islam diberi kesempatan selama beberapa waktu mempelajarinya, setelah itu tidak ada alasan lagi baginya.

Sayid Muhammad bin Husein al-Habsyi, seorang yang pernah menjabat sebagai Mufti (seorang yang dapat mengeluarkan fatwa dalam berbagai permasalahan agama, karena keluasaan dan ketinggian ilmunya serta keluhuran budinya) Mekkah al-Mukarramah pada tahun 1270 H, dalam bukunya Fathul ilah bima yajibu ‘alal ‘abdi li maulah, tela menjelaskan secara mendetail segala hal yang dapat menyebabkan seseorang murtad. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap muslim wajib berusaha menjaga keislamannya dari segala hal yang dapat merusaknya, yang akan membuatnya murtad (semoga Allah azza wa jalla melindungi kita semua darinya). Di zaman ini, banyak orang terlalu berani berbicara, sehingga ada sebagian orang yang mengucapkan kalimat yang menyebabkan dia keluar dari Islam (murtad), akan tetapi dia sama sekali tidak menganggapnya sebagai dosa, apalagi menyadarinya sebagai sebuah kekufuran.

Kemurtadan ada tiga, yaitu: dalam keyakinan, perbuatan, dan ucapan. Setiap jenis kemurtadan terbagi menjadi banyak bagian.

Bersambung.........

Dikutip dari buku Habib Noval, Mana Dalilnya 1