(oleh Habib Noval bin Muhammad al-‘Aydrus, Solo)
Saudaraku,
di akhir zaman ini, banyak orang yang belum mengetahui dan belum memahami
hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang menjadi musyrik, kufur, murtad, keluar
dari Islam. Ketidaktahuan ini telah membuat banyak orang mengucapkan
kalimat-kalimat yang dapat membuat mereka keluar dari Islam tanpa mereka
sadari. Permasalahan ini sangat berbahaya, karena menyangkut keislaman kita.
Para ulama menyebutkan bahwa seseorang yang tidak mengenal keburukan
(kejahatan), maka dia akan terjerumus ke
dalamnya.
Kemusyrikan
atau kekufuran merupakan dosa yang tidak terampuni kecuali dengan kembali
memeluk Islam dan mengesakan Allah subhanahu wa taala. Penyakit yang berbahaya
ini tenunya harus kita kenal dan hindari, agar kita selamat dari siksa pedih
yang abadi. Sayangnya, tidak banyak orang-orang yang mempelajari permasalahan
ini sampai tuntas. Akibatnya, hanya karena ada perbedaan pemahaman dalam tata
cara beribadah, tidak sedikit orang yang terlalu mudah melontarkan kalimat,
“Dia musyrik,” atau “kamu syirik,” “itu perbuatan syirik,” dan sejenisnya
kepada sesama Muslim yang taat beribadah dan beriman kepada Allah subhanahu wa
taala. Padahal dalam sebuah Hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إذ كفّر
الرجل أخاه فقد باء بها أحدهما
“Jika seseorang mengkafirkan saudaranya
(sesama Muslim), maka salah satu di antara keduanya menjadi kufur.” (HR: Muslim)
Dalam Hadits lain.
إذ
قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء به أحدهما
“Jika seseorang
berkata kepada saudaranya (sesama muslim) ‘Hai kafir’, maka salah satu di
antara keduanya kufur (kafir).” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mendidik para sahabat untuk tidak menuduh seseorang sebagai kafir dan
tidak pula melaknat seorang muslim yang bermaksiat. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ثلاث من أصل الإيمان : الكفّ عمّن قال لآ إله إلا
الله ولا نكفره بذنب ولانخرجه من الإسلام بعمل, والجهاد ما ض منذ بعثني الله إلى
أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل, و الإيمان بالأقدار.
“ Tiga hal yang
menjadi dasar iman, (pertama) adalah mencegah diri untuk tidak menyakiti orang
yang telah mengucapkan tidak ada Tuhan kecuali Allah (seorang muslim). Kita
tidak mengkafirkannya karena sebuah dosa dan tidak mengeluarkannya dari Islam
karena sebuah perbuatan (amal). (Kedua), jihad telah berlaku sejak Allah
mengutusku hingga nanti umatku yang paling akhir memerangi Dajjal. Kedzaliman
orang yang dzalim maupun keadilan orang yang adil tidak akan dapat
menghalanginya. (Ketiga), iman kepada berbagai takdir.” (HR Abu Dawud).
Sayidina ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu menceritakan bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada
seorang lelaki bernama ‘Abdullah yang suka menghibur Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia kecanduan minuman keras dan sudah beberapa kali dihukum cambuk.
Suatu hari, ketika sedang menjalani hukuman cambuk, seseorang berkata, “Ya
Allah, laknatlah dia, betapa sering ia menjalani hukuman cambuk ini.” Mendengar
laknat tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لا
تلعنوه, فوالله ما علمت إنه يحب الله و رسوله
“Janganlah kalian melaknatnya. Demi Allah,
sepengetahuanku dia adalah seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari)
Kita
tentunya masih ingat kisah Usamah bin Zaid yang ditegur oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena membunuh seseorang yang mengucapkan
kalimat syahadat. Pada saat itu Usamah dan sejumlah sahabat lainnya diutus
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju sebuah daerah. Di sana
terjadilah peperangan. Ketika peperangan sedang berkecamuk, Usamah dan seorang
sahabat Anshar berhasil mengepung seorang musuh. Ketika akan dibunuh, tiba-tiba
orang tersebut mengucapkan kalimat syahadat. Mendengar kalimat itu, sahabat
Anshar tidak jadi membunuhnya, tetapi Usamah bin Zaid menikamnya sehingga tewas
dengan ujung tombaknya. Ketika mendengar peristiwa tersebut, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah, “Apakah engkau membunuhnya
setelah dia mengucapkan La Ila ha Illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah)?”
Usamah menyampaikan alasannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengapa ia tetap membunuh orang tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ia
ucapkan kalimat itu hanya untuk melindungi dirinya dariku.” Tetapi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengulangi pertanyaan berikut:
أقتلته
بعد ما قال لآ إله إلا الله
“ Apakah kau membunuhnya setelah dia
mengucapkan tidak ada Tuhan kecuali Allah?”
Bahkan
dalam riwayat lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada
Usamah, “Apakah kau telah membelah dadanya sehingga kau tahu dia telah
mengucapkan kalimat itu atau tidak?”
Setelah
menyimak keterangan di atas, maka hendaknya kita tidak terlalu mudah menyebut
atau menuduh seorang muslim sebagai musyrik atau kafir. Kita harus memelajari
terlebih dahulu kedudukan perbuatannya dalam
syariat, sehingga tidak terjerumus dalam kekufuran karena mengkafirkan atau
memusyrikkan muslim yang lain.
Saudaraku,
sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah khawatir umatnya akan menjadi musyrik.
Yang beliau khawatirkan adalah kita akan terlalu mencintai dunia dan
berlomba-lomba untuk memperebutkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إني
لست أخشى عليكم أن تشركوا ولكنّي أخشى عليكم الدنيا أن تنافسوها
“Sesungguhnya aku tidak takut (tidak khawatir)
kalian akan menjadi musyrik (menyekutukan Allah sepeninggalku nanti), akan
tetapu aku takut (khawatir) kalian akan berlomba-lomba memperebutkan dunia.”
(HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Lalu,
bagaimana seseorang dapat dikatakan musyrik atau kafir?
Saudaraku,
perbedaan antara syirik dengan iman sangat tipis. Seseorang yang ke dokter dan
meminum obat darinya dengan keyakinan bahwa si dokter dan obat itulah yang
menyembuhkannya, maka dia telah syirik. Sebab dia telah meyakini bahwa ada yang
mampu meberikan kesembuhan selain Allah. Tetapi, jika dia pergi ke dokter dan
meminum obat dengan keyakinan yang Maha Penyembuh hanya Allah sedangkan dokter
dan obat hanyalah sarana yang harus ia jalani, maka dia telah melakukan sebuah
ibadah. Sebab berobat merupakan salah satu perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Lihatlah,
sangat tipis perbedaan antara syirik dan ibadah. Syirik seperti di atas hanya
Allah yang dapat mengetahuinya, sebab letaknya di dalam hati. Kita tidak boleh
menuduh seseorang yang pergi ke dokter sebagai seorang yang musyrik, sebab,
kita tidak pernah mengetahui isi hatinya, apa niatnya. Jika memang dia
menyatakan bahwa hanya dokter yang dapat menyembuhkan penyakitnya dan bukan
Allah, maka barulah kita dapat menyatakan bahwa ia nyata-nyata telah kufur dan
msuyrik. Agar tidak terjerumus dalam kesalahan besar karena menyebut seseorang
telah musyrik, maka kita harus mengetahui perbuatan bagaimana yang dapat
dihukumi sebagai sebuah kemusyrikan dan pelakunya sebagai seorang yang musyrik.
Dalam buku Mafahim yajibu an tushah hah, karya almarhum Prof. Dr. Muhammad bin
Alwi al-Maliki al-Hasani mengutip pendapat sayid Ahmad Masyhur al-Haddad yang
berbunyi:
Para
ulama sepakat bahwa kita tidak boleh mengkafirkan seorang muslim kecuali jika
1.
Ia
tidak mengakui keberadaan Allah yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Agung, dan
Maha Tinggi.
2.
Ia
melakukan perbuatan yang nyata-nyata syirik, perbuatan yang tidap dapat
ditakwilkan (diartikan lain) seperti nyata-nyata menyembah matahari, bulan,
patung, dan sejenisnya.
3.
Ia
mengingkari seorang Nabi.
4.
Ia
mengingkari sesuatu yang telah jelas disebutkan oleh syariat.
5.
Ia
mengingkari sesuatu yang diriwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh
banyak sahabat dari sekelompok sahabat lainnya)
6.
Ia
mengingkari suatu bagian dari ajaran Islam yang telah disepakati.
Hal-hal
yang disebutkan oleh syariat dengan jelas misalnya adalah keesaan Allah,
masalah kenabian, keyakinan bahwa Rasulullah adalah penutup para Rasul,
keyakinan bahwa kebangkitan terjadi di hari akhir, masalah hisab (hari
perhitungan), hari pembalasan, surga dan neraka. Orang-orang yang mengingkari
keberadaan hal-hal tersebut di atas, maka dia telah kufur.
Setiap
muslim harus mengetahui semua hal yang dapat menyebabkan kekufuran, kecuali
jika ia baru masuk Islam. Seorang yang baru masuk Islam diberi kesempatan
selama beberapa waktu mempelajarinya, setelah itu tidak ada alasan lagi
baginya.
Sayid
Muhammad bin Husein al-Habsyi, seorang yang pernah menjabat sebagai Mufti
(seorang yang dapat mengeluarkan fatwa dalam berbagai permasalahan agama,
karena keluasaan dan ketinggian ilmunya serta keluhuran budinya) Mekkah
al-Mukarramah pada tahun 1270 H, dalam bukunya Fathul ilah bima yajibu ‘alal
‘abdi li maulah, tela menjelaskan secara mendetail segala hal yang dapat
menyebabkan seseorang murtad. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap muslim
wajib berusaha menjaga keislamannya dari segala hal yang dapat merusaknya, yang
akan membuatnya murtad (semoga Allah azza wa jalla melindungi kita semua
darinya). Di zaman ini, banyak orang terlalu berani berbicara, sehingga ada
sebagian orang yang mengucapkan kalimat yang menyebabkan dia keluar dari Islam
(murtad), akan tetapi dia sama sekali tidak menganggapnya sebagai dosa, apalagi
menyadarinya sebagai sebuah kekufuran.
Kemurtadan
ada tiga, yaitu: dalam keyakinan, perbuatan, dan ucapan. Setiap jenis
kemurtadan terbagi menjadi banyak bagian.
Bersambung.........
Dikutip
dari buku Habib Noval, Mana Dalilnya 1