Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Habib, semoga Allah SWT senantiasa merahmati Habib sekeluarga. Amin.
Alhamdulillah, tahun ini saya merasa
terpanggil untuk melaksanakan ibadah haji. Saya ingin bertanya. Bolehkah
saya menggunakan obat atau suntikan penunda haidh? Kalau di sana saya
haidh, padahal saya belum melaksanakan thawaf ifadhah, bagaimana
hukumnya? Apa yang harus dilakukan jika rombongan saya tidak mau
menunggu dan harus segera pulang ke tanah air?
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Sebelumnya saya ucapkan selamat atas
keberangkatan Anda dan jama’ah haji yang lain ke Tanah Suci untuk
beribadah haji. Semoga selamat dalam perjalanan hingga kembali ke tanah
air dengan membawa haji yang mabrur. Amin ya Rabbal alamin.
Ibu, dalam Islam, menggunakan obat atau
suntikan penunda haidh diperbolehkan. Asalkan, dalam mengkonsumsinya
tidak membahayakan kesehatan, baik di masa dekat atau di masa yang akan
datang. Jadi cukup datang kepada dokter dan tanyakan kepadanya bahaya
mengkonsumsi obat atau suntikan tersebut. Jika dokter mengatakan tidak
membahayakan kesehatan badan, hukumnya boleh dikosumsi.
Tapi ingat, niat menunda haidnya untuk
suatu keperluan yang diperbolehkan dalam agama, semisal Ibu
menggunakannya agar dapat menuntaskan aktivitas ibadah haji atau supaya
tidak ada utang puasa pada bulan Ramadhan. Kalau menggunakannya dengan
tujuan yang dilarang dalam agama, hukumnya haram, karena tujuannya itu
sendiri. Sabda Nabi SAW:
قال رسول الله صلالله عليه وسلم إنما الاعمال بالنيات (رواه البخاري ومسلم) ـ
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Haidh sebelum Thawaf Ifadhah
Lalu bagaimana jika seorang wanita sedang melaksanakan haji dan sebelum thawaf rukun atau thawaf ifadhah ia mengalami haidh?
Di antara syarat sahnya thawaf adalah
suci dari hadats besar dan kecil. Seorang wanita haidh dihukumi sedang
berhadats besar, hingga tidak sah thawafnya. Itu berdasarkan hadist Nabi
SAW berikut ini:
عن عا ئسة رضيالله عنها أنها لما حاضت قبيل
دخول مكة في حجة الوداع قال لها افعلي ما يفعل لحاج غير ان لا تطوفي بالبيت
حتى تطهري (رواه البخاري)ـ
“Dari Sayyidah Aisyah RA bahwasanya,
ketika beliau mengalami haidh sebelum masuk kota Makkah pada haji wada’
bersama Nabi SAW, Nabi SAW bersabda kepadanya, “Kamu lakukan apa saja
dari manasik haji ini. Hanya saja kamu tidak diperkenankan melakukan
thawaf hingga kamu suci dari haidhmu nanti.” (HR Bukhari).
Dalam hadits lain juga disebutkan:
عن عائسة رضي الله عنها أن صفية بنت حيي رضي
الله عنها حاضت في حجة الوداع فقال النبي صل الله عليه وسلم أحبستنا هي؟
فقلت إنها قد أفاضت يا رسول الله وطا فت بالبيت فقال النبي صل الله عليه
وسلم فلتنفر (رواه البخاري)ـ
“Dari Sayyidah Aisyah RA, ia
mengatakan, Sayyidah Shafiyah binti Huyay, istri Nabi SAW mengalami
haidh pada haji wada’, maka Nabi SAW bersabda, “Apakah dia menahan kita
(maksudnya, “Apakah kita menunggunya hingga dia melaksanakan
thawaf tatkala suci nanti”)?” Sayyidah Aisyah RA berkata, “Ya
Rasulullah, dia sudah melaksanakan thawaf ifadhah.” Maka Nabi SAW
bersabda, “Kalau begitu, biarlah dia melakukan nafar.” (HR Bukhari) –
Nafar adalah keberangkatan jama’ah haji dari kota Mina ke kota Makkah.
Kedua hadits di atas menjadi dalil tidak
diperbolehkannya seorang wanita yang sedang mengalami haidh melakukan
thawaf. Dengan dasar hadits pertama di atas, dapat disimpulkan
bahwasanya seorang wanita yang sedang melakukan ibadah haji
diperkenankan melakukan semua manasik haji, apa pun bentuknya, kecuali
thawaf. Berthawaf tidak diperkenankan hingga dia suci dari haidhnya.
Sementara itu jika ia masih mengalami
haidh padahal rombongannya sudah akan pulang ke tanah air, hendaknya ia
melakukan salah satu dari beberapa pilihan di bawah ini yang
memungkinkan baginya untuk melakukannya:
- Ia bersabar menunggu di Makkah hingga ia suci lalu melaksanakan thawaf ifadhah dengan sempurna, sesuai dengan tuntunan semua madzhab. Jika hal itu tidak memungkinkan karena rombongannya harus pulang dan tidak diperkenankan baginya untuk tinggal hingga ia suci nanti, hendaknya ia beralih ke pilihan kedua berikut ini.
- Ia pulang ke negaranya dahulu tanpa melaksanakan thawaf ifadhah tetapi ia masih terhitung seseorang yang masih belum tahallul sehingga segala larangan atas seseorang yang melakukan ibadah haji tetap berlaku kepadanya, hingga ia mendapatkan kesempatan untuk kembali ke Makkah guna melaksankan thawaf ifadhah dan menuntaskan hajinya yang sempat tertunda tahallulnya dikarenakan ia belum melaksanakan thawaf rukun atau ifadhah. Jika ia berasal dari sekitar Makkah, itu tentunya tidak sulit baginya. Ajaran Islam selalu mudah dilaksanakan dan agama ini tidak ingin mempersulit umatnya. Allah SWT berfirman:
وما جعل عليكم في الدين من حرج (الحج 78)ـ
“Dan Allah tidaklah menciptakan suatu kesulitan atas kalian di dalam agama ini.” (QS Al-Hajj: 78).
Jika hal ini tidak memungkinkan baginya, hendaknya ia melaksankan pilihan yang ketiga berikut ini.
- Ia pergi bersama rombongannya hingga jika ia sudah sampai ke suatu tempat yang tidak mungkin baginya untuk kembali ke Makkah, di sana ia melakukan tahallul dengan tahallulnya seorang yang muhshar (seseorang yang tercegah untuk melaksanakan ibadah haji), yaitu dengan menyembelih kambing dan memotong rambutnya dengan niat tahallul. Jika ia telah melakukannya, ia dihukumi telah bertahallul dan boleh melakukan segala larangan atas seseorang yang melaksanakan ihram. Tetapi suatu waktu nanti, saat ia mampu kembali ke Makkah, ia wajib kembali ke Makkah untuk melaksanakan thawaf yang pernah ia tinggalkan itu. Jika ia meninggal dunia sebelum melaksanakannya, wajib dilakukan haji badal untuknya, yang diambil dari harta warisnya.
- Namun, kalau hal ini juga dirasa sulit untuk dilakukan, hendaknya diambil pilihan terakhir berikut ini. Bertaqlid dengan Madzhab Imam Abu Hanifah RA, yaitu tetap melaksanakan thawaf walaupun dalam keadaan haidh. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, melaksanakan thawaf tidak harus dalam keadaan suci dari haidh. Hanya saja, dengan cara semacam ini ia berdosa, karena masuk ke dalam masjid dalam keadaan haidh. Dan ia harus membayar dam berupa menyembelih seekor unta dan disedekahkan untuk fuqara’ Makkah. Mungkin inilah yang paling mudah dilakukan daripada harus menanggung beban tidak boleh melakukakan hal-hal yang dilarang atas seseorang yang sedang haji atau harus kembali lagi, yang mungkin saja hal itu kemudian tak terlaksana di kemudian hari. Cara terakhir ini dapat diambil bila cara-cara sebelumnya tidak memungkinkan. Nabi SAW bersabda, “Perbedaan pendapat di antara ulama merupakan rahmat bagi umatku.”Dan ini salah satu contoh rahmat dari perbedaan tersebut.
http://ust-segafbaharun.com/?p=686