Kamis, 10 Oktober 2013

Cinta yang dahsyat


(ceramah al-Habib Taufiq bin Abdul Qadir as-Segaf dari Pasuruan-Jawa Timur beberapa tahun yang lalu)


Tiada yang lebih indah, tiada yang lebih istimewa, tiada yang lebih dahsyat daripada Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itulah, para pecinta beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah berhenti menghaturkan shalawat serta salam kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam. Para perindu beliau shallallahu alaihi wa sallam tiada lelah merangkai puja puji yang terbaik untuk beliau shallallahu alaihi wa sallam. Tiada seorang wanitapun di muka bumi ini yang melahirkan bayi yang lebih istimewa dari Baginda Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.


Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa taala berfirman yang artinya: “Katakanlah, ‘Jika ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang fasik.”(at-Taubah:24)

Anas bin Malik berkata: “Tidak ada satu malam pun berlalu kecuali aku menyaksikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Karena rasa cinta yang begitu besar, sahabat yang satu ini setiap hari mesti menemui baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Tidak ada hal yang lebih disenangi para sahabat daripada pertemuan dengan Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau shallallahu alaihi wa sallam meninggal dunia, para sahabat merasakan kehilangan yang tiada tara. Sebagian dari mereka tidak sanggup lagi di kota Madinah. Di antara sahabat yang demikian adalah Bilal RA. Ia meninggalkan Madinah dan memilih tinggal di daerah bernama Darriyah.

Di suatu malam, setelah genap setahun meninggalkan Madinah, dia bangun dari tidur sembari menangis. Istri Bilal yang merasa heran menghampirinya dan bertanya, “apa yang membuat anda menangis?” Bilal RA (Radhiyallahu Anhu/ semoga Allah meridha’i beliau) menjawab, dalam tidur tadi aku bermimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadaku ‘Kenapa engkau menjauh wahai Bilal? Bukankah sekarang saatnya engkau mengunjungiku?.”

Pagi harinya Bilal RA bertolak menuju Madinah, sesampainya di kota itu Bilal RA menghampiri makam Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan bersimpuh. Dia memeluk makam junjungannya itu. Abu Bakar ash-Shiddiq RA yang mendengar kedatangan Bilal langsung datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Setelah puas berziarah, Bilal menghampiri Abu Bakar RA. Bilal tak kuasa menahan tangis tatkala mengingat dahulu Abu Bakar RA adalah adalah sahabat yang senantiasa mendampingi Baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar RA pun demikian. Ia sedih ketika mengenang Bilal berkhidmat (mengabdi) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam., menenteng sandal beliau shallallahu alaihi wa sallam dan membawakan tongkat beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Di tengah suasana haru itu Abu Bakar RA berkata: “Wahai Bilal, sudikah kamu mengumandangkan azan untuk kami sebagaimana dahulu kamu mengumandangkan azan untuk Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?”

Dengan berat, Bilal RA menolak permintaan itu, “maafkan aku, aku sudah tidak mampu lagi azan setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meninggal.”

Tiba-tiba Umar bin Khattab RA datang menghampiri mereka. Ia minta Bilal RA agar bersedia mengumandangkan azan, Bilal tetap menampik permintaan itu. “Aku tadi menolak permintaan Abu Bakar dan sekarang engkau memohon wahai Umar. Ketahuilah, dulu setiap kali selesai azan, aku menghampiri rumah Rasulullah dan berkata ‘ waktunya shalat wahai Rasulullah’ dan sekarangg aku mesti mengucapkan kalimat itu kepada siapa?”

Akhirnya Abu Bakar RA dan Umar RA tidak dapat memaksa Bilal RA. Mereka hanya menangis mengenang masa-masa indah bersama Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian datanglah Hasan dan Husein dua cucu Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kala itu Hasan berusia 9 tahun, dan Husein 8 tahun. Bilal langsung mememeluk mereka berdua. Ia mendekap erat dua bocah itu lantaran merasakan bau harum Baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam masih tersisa di tubuh keduanya.

Hasan dan Husein berkata kepada Bilal, “sudikah anda mengumandangkan azan seperti dulu anda lakukan untuk kakek kami? Kami rindu dengan suara itu. Kami ingin mendengarkan suara itu. Kami ingin mendengar azan itu.” Tangis Bilal kian menjadi. Dengan suara parau dia berkata kepada kedua anak kecil itu, “apa yang bakal aku utarakan kelak di hadapan Allah subhanahu wa taala? Aku mampu menolak permintaan Abu Bakar RA dan Umar RA. Sekarang apa yang bisa aku katakan kepada kalian wahai cucu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Aku khawatir kalau menolak kalian, nanti permintaanku di hari kiamat ditolak datuk kalian. Untuk kalian berdua aku akan azan.”

Bilal berjalan menujur menara masjid Nabawi. Begitu sampai di atas menara, dia mulai azan dengan lafal “allahu akbar.” Suara merdu itu terdengar oleh penduduk Madinah. Mereka yang ada di pasar serentak menghentikan kesibukan. Mereka langsung teringat kumandang azan sewaktu bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setahun lalu. Kemudian Bilal mengucapkan “allahu akbar” yang kedua. Mendengar suara itu, penduduk Madinah yang berada di dalam rumah berhamburan keluar. Tatkala Bilal mengucapkan “asyhadu alla ilaha illallah,” seseorang berseru, “apakah Rasulullah hidup lagi?” Lalu pada saat “asyhadu alla ilaha illallah” yang kedua bergema dari lisan Bilal, para perempuan keluar mengira Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hidup kembali. Seluruh penduduk Madinah pergi ke mesjid Nabawiy sehingga kota itu menjadi lengang.

Sementara itu, tatkala Bilal RA hendak menyerukan lafaz “asyhadu anna Muhammadar rasulullah” dia berhenti lantaran tidak kuasa menahan kerinduan kepada Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia dan seluruh penduduk Madinah menangis karena mengenang momen-momen terindah bersama Baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam.

Demikianlah rasa cinta para sahabat terhadap Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Begitu mengenal insan termulia ini, mereka takkan mampu melupakannya.

Dikisahkan bahwa ketika Bilal RA mendekati ajalnya, anak-anaknya merasa kebingungan. Mereka berkata, “Abah kami akan meninggalkan kami.” Sementara itu Bilal RA merasa senang. “Betapa bahagia hatiku karena esok aku akan bertemu dengan sang kekasih, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan orang-orang yang dekat dengan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam katanya.”

Rasa cinta yang mendalam kepada Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga dirasakan oleh Zaid bin ad-Datsina RA salah seorang assabiqunal awwalun (orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam). Suatu ketika Zaid RA ditangkap dan disiksa oleh kaum musyrikin. Seseorang berkata kepadanya saat itu, “wahai Zaid, apakah kamu senang bila Muhammad sekarang di sini menggantikan dirimu disiksa sementara kamu di rumah bersama keluargamu?”

Dengan lugas Zaid RA menjawab, “Demi Allah, seandainya Muhammad sekarang di rumahnya tertusuk duri aku takkan rela meski aku sekarang ada di rumahku, apalagi ia mesti menggantikan diriku di sini.” Saat itu Zaid RA dalam keadaan sekarat karena beratnya siksaan yang beliau terima.

(catatan ulun: Zaid RA tidak rela Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersakiti meski hanya tertusuk duri, dan Zaid RA rela dirinya disiksa asalkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu dalam keadaan aman).

Abu Sufyan yang kala itu belum beriman berkata, “aku belum pernah menyaksikan di antara manusia yang saling mencintai seperti kuat dan mendalamnya rasa cinta para sahabat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Kisah-kisah di atas mengingatkan kita kepada sahabat-sahabat yang mengenal insan termulia, Baginda Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Apakah kita lupa pada sosok yang paling agung ini? Masihkah wanita dan harta yang menggoda kita bakal terus melupakan dari beliau? Demi Allah, seandainya Baginda Muhammad shallallahu alaihi wa sallam ada di tengah kita, niscaya kita akan melupakan segala urusan kita lantaran menyaksikan makhluk terbaik dan pribadi paling mulia itu. Karena itu mari kita jadikan maulid ini sebagai momen untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sepulang dari majelis ini, mari kita benahi iman kita. Kita jadikan Beliau shallallahu alaihi wa sallam sebagai insan yang paling kita cintai. Cinta kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah bagian dari kesempurnaan iman. Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai diriku lebih ia cintai daripada dirinya sendiri, hartanya, keluarganya, orang tua, dan anak-anaknya.”

Mudah-mudahan kita bisa mengamalkan semua ini. Amien

Sumber:
Rekaman ceramah al-Habib Taufiq bin Abdul Qadir as-Segaf
Majalah Cahaya Nabawiy edisi no 122, hlm 41-44