Kita
mungkin sering melihat dan mendengar seseorang menziarahi makam waliyullah,
seorang yang shaleh, kemudian berkata: “Wahai syeikh Fulan, do’akan kami agar
kami bisa menjadi Muslim yang baik, dapat mendidik anak kami dengan benar...”
dan hal-hal serupa lainnya.
Pertanyannya, bolehkah itu dilakukan? Apakah itu termasuk istighatsah?
Saudaraku,
kalimat yang dicontohkan di atas adalah termasuk dalam istighatsah dengan yang
telah meninggal dunia, istighatsah semacam ini diizinkan oleh syariat. Sebab,
pada intinya tidak ada perbedaan antara istighatsah dengan yang hidup atau
dengan mereka yang telah meninggal dunia. Akan dijelaskan oleh kami secara
singkat.
Pertama,
pada hakikatnya, para Nabi,
dan kaum sholihin yang diridhai Allah subhanahu wa taala adalah hidup di
kuburnya. Allah subhanahu wa taala mewahyukan :
ولا تحسبن الذين قتلوا فى سبيل الله أمواتا, بل
أحيآء عند ربهم يرزقون
“Dan janganlah kamu kira orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati, mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki.” (Ali Imran: 169)
Ayat
ini secara jelas menyatakan bahwa para syuhada itu hidup di alamnya sana. Jika
para syuhada hidup dan mendapatkan kenikmatan di sisi Allah subhanahu wa taala,
maka para Nabi dan Rasul serta para sahabat dan kaum sholihin yang berkedudukan
lebih mulia dari mereka juga hidup seperti mereka. Jika kita oleh syariat
(agama) diizinkan untuk meminta tolong kepada teman kita, kepada guru kita,
kepada kaum sholihin,maka meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal
dunia hukumnya juga sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara
kita.
Kedua,
sebagian orang meyakini bahwa yang mati tidak dapat berbuat
apa-apa, dan tidak dapat memberikan manfaat apa-apa terhadap yang hidup. Oleh
karena itu, mereka berpendapat bahwa ber-istighatsah dengan yang mati, tidak
bisa dilakukan. Coba kita bahas,
benarkah yang mati tidak dapat memberikan manfaat kepada yang hidup?
Saudaraku,
ingatkah anda dengan wahyu Allah subhanahu wa taala?
وقل اعملوا فسير ى الله عملكم ورسوله والمؤمنون
“Dan
katakanlah, ‘Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang
beriman melihat amal kalian itu.” (at-Taubah, 9:105)
Ketika
menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan:
“Telah
diriwayatkan bahwa semua amal orang yang masih hidup dipertontonkan kepada
keluarga dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia di alam Barzakh,
sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi.
Diriawayatkan
oleh Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إن أعمالكم تعرض على أقربائكم و عشائركم في قبورهم ، وإن كان خيرا إستبشروا
به ، وإن كان غير ذلك قالوا : اللهم ألهمهم أن يعملوا بطاعتك
“Sesungguhnya semua amal kalian akan
dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Jika
(melihat) amal yang baik, mereka bahagia. Jika(melihat) amal yang buruk, mereka
berdo’a, ‘Ya Allah, berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat
kepada-Mu.” (Lihat Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimsyiqi, Tafsir Ibnu
katsir, Juz.2, Darul Fikr, Beirut,
1401H, hal.388)
Dalam
hadits di atas jelas dinyatakan bahwa yang mati masih dapat mendo’akan yang
hidup. Ini merupakan salah satu bukti bahwa mereka masih bermanfaat bagi yang
hidup.
Kemudian
dalam peristiwa Isra Mi’raj disebutkan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam memberikan
saran kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta
keringanan perintah shalat kepada Allah, Allahpun mengabulkan permintaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kewajiban shalat 50 waktu
dirubah menjadi 5 waktu yang pahalanya sama dengan 50 waktu. Lihatlah, Nabi
Musa ‘alaihissalam masih memberikan manfaat padahal beliau ‘alaihissalam sudah
meninggal dunia ketika itu.
Ibnu
Abi Syaibah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sayidina Umar radhiyallahu
‘anhu pernah terjadi paceklik. Saat itu Bilal bin Harits al-Muzanni berziarah
ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata,: “Duhai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mintakanlah hujan kepada Allah untuk
umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.” Tak lama kemudian ia bermimpi
dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata kepadanya, “temuilah
‘Umar, sampaikanlah salamku kepdanya dan beritahukan bahwa mereka akan
memperoleh hujan.....” (Lihat Abu
Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi, Mushannif Ibnu Abi
Syaibah, Maktabatur Rusyd, juz 6, cet., I, Riyadh, 1409, hal. 356.) Ibnu Hajar al-Asqalani
menyatakan sanad hadits ini adalah shahih. Para ulama yang meriwayatkan hadits
inipun tidak yang mencela isinya. (lihat
Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, Mafahim Yajibu an Tushah hah, cet.X,
Darul Auqaf Was Syu’un al-Islamiyah, Dubai, 1995, hal. 151.)
Dalam
atsar di atas disebutkan bahwa sahabat Bilal bin Harits al-Muzanni
beristighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh hari
setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Tidak ada seorang
sahabatpun yang menentangnya.
Imam
Darimi menceritakan bahwa pada suatu ketika warga Madinah mengalami musim
kemarau yang sangat panjang. Mereka mendatangi
ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengadukan keadaan mereka. Beliau berkata,
“Pandanglah makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan buatlah
lubang (seperti jendela) di atap makam beliau, sehingga antara makam beliau dan
langit tidak ada yang menghalanginya.” Masyarakat Madinah melaksanakan saran
ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan tidak lama setelah itu, turunlah
hujan yang menyubrukan rerumputan dan menggemukkan onta.
Atsar
ini juga menunjukkan bahwa para sahabat beristighatsah setelah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Dikutip
dari: al-Habib Noval bin Muhammad Alaydrus dalam buku beliau “Mana Dalilnya 1”