Jumat, 04 Oktober 2013

Istighatsah dengan yang telah meninggal



Kita mungkin sering melihat dan mendengar seseorang menziarahi makam waliyullah, seorang yang shaleh, kemudian berkata: “Wahai syeikh Fulan, do’akan kami agar kami bisa menjadi Muslim yang baik, dapat mendidik anak kami dengan benar...” dan hal-hal serupa lainnya.  Pertanyannya, bolehkah itu dilakukan? Apakah itu termasuk istighatsah?

Saudaraku, kalimat yang dicontohkan di atas adalah termasuk dalam istighatsah dengan yang telah meninggal dunia, istighatsah semacam ini diizinkan oleh syariat. Sebab, pada intinya tidak ada perbedaan antara istighatsah dengan yang hidup atau dengan mereka yang telah meninggal dunia. Akan dijelaskan oleh kami secara singkat.

Pertama,  pada hakikatnya, para Nabi, dan kaum sholihin yang diridhai Allah subhanahu wa taala adalah hidup di kuburnya. Allah subhanahu wa taala mewahyukan :
ولا تحسبن الذين قتلوا فى سبيل الله أمواتا, بل أحيآء عند ربهم يرزقون
“Dan janganlah kamu kira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Ali Imran: 169)

Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa para syuhada itu hidup di alamnya sana. Jika para syuhada hidup dan mendapatkan kenikmatan di sisi Allah subhanahu wa taala, maka para Nabi dan Rasul serta para sahabat dan kaum sholihin yang berkedudukan lebih mulia dari mereka juga hidup seperti mereka. Jika kita oleh syariat (agama) diizinkan untuk meminta tolong kepada teman kita, kepada guru kita, kepada kaum sholihin,maka meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal dunia hukumnya juga sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara kita.

Kedua, sebagian orang meyakini bahwa yang mati tidak dapat berbuat apa-apa, dan tidak dapat memberikan manfaat apa-apa terhadap yang hidup. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa ber-istighatsah dengan yang mati, tidak bisa dilakukan.  Coba kita bahas, benarkah yang mati tidak dapat memberikan manfaat kepada yang hidup?

Saudaraku, ingatkah anda dengan wahyu Allah subhanahu wa taala?
وقل اعملوا فسير ى الله عملكم ورسوله والمؤمنون
“Dan katakanlah, ‘Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman melihat amal kalian itu.” (at-Taubah, 9:105)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan:
“Telah diriwayatkan bahwa semua amal orang yang masih hidup dipertontonkan kepada keluarga dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia di alam Barzakh, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi.

Diriawayatkan oleh Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أعمالكم تعرض على أقربائكم  و عشائركم في قبورهم ، وإن كان خيرا إستبشروا به ، وإن كان غير ذلك قالوا : اللهم ألهمهم أن يعملوا بطاعتك
“Sesungguhnya semua amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Jika (melihat) amal yang baik, mereka bahagia. Jika(melihat) amal yang buruk, mereka berdo’a, ‘Ya Allah, berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat kepada-Mu.” (Lihat Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimsyiqi, Tafsir Ibnu katsir,  Juz.2, Darul Fikr, Beirut, 1401H, hal.388)

Dalam hadits di atas jelas dinyatakan bahwa yang mati masih dapat mendo’akan yang hidup. Ini merupakan salah satu bukti bahwa mereka masih bermanfaat bagi yang hidup.

Kemudian dalam peristiwa Isra Mi’raj disebutkan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam memberikan saran kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta keringanan perintah shalat kepada Allah, Allahpun mengabulkan permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kewajiban shalat 50 waktu dirubah menjadi 5 waktu yang pahalanya sama dengan 50 waktu. Lihatlah, Nabi Musa ‘alaihissalam masih memberikan manfaat padahal beliau ‘alaihissalam sudah meninggal dunia ketika itu.

Ibnu Abi Syaibah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu pernah terjadi paceklik. Saat itu Bilal bin Harits al-Muzanni berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata,: “Duhai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mintakanlah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.” Tak lama kemudian ia bermimpi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata kepadanya, “temuilah ‘Umar, sampaikanlah salamku kepdanya dan beritahukan bahwa mereka akan memperoleh hujan.....” (Lihat Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi, Mushannif Ibnu Abi Syaibah, Maktabatur Rusyd, juz 6, cet., I, Riyadh, 1409, hal. 356.)   Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan sanad hadits ini adalah shahih. Para ulama yang meriwayatkan hadits inipun tidak yang mencela isinya. (lihat Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, Mafahim Yajibu an Tushah hah, cet.X, Darul Auqaf Was Syu’un al-Islamiyah, Dubai, 1995, hal. 151.)

Dalam atsar di atas disebutkan bahwa sahabat Bilal bin Harits al-Muzanni beristighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh hari setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Tidak ada seorang sahabatpun yang menentangnya.

Imam Darimi menceritakan bahwa pada suatu ketika warga Madinah mengalami musim kemarau yang sangat panjang.  Mereka mendatangi ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengadukan keadaan mereka. Beliau berkata, “Pandanglah makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan buatlah lubang (seperti jendela) di atap makam beliau, sehingga antara makam beliau dan langit tidak ada yang menghalanginya.” Masyarakat Madinah melaksanakan saran ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan tidak lama setelah itu, turunlah hujan yang menyubrukan rerumputan dan menggemukkan onta.

Atsar ini juga menunjukkan bahwa para sahabat beristighatsah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

Dikutip dari: al-Habib Noval bin Muhammad Alaydrus dalam buku beliau “Mana Dalilnya 1”