Sabtu, 08 Februari 2014

Adab makan





Dari Abi Juhaifah Wahb bin Abdillah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersab­da, ‘Aku tak pernah makan dengan ber­sandaran’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).



Kajian hadits kali ini masih berkaitan dengan adab-adab makan. Meski terkesan sederhana, ternya­ta masalah duduk bersandar menjadi per­hatian Nabi Muhammad SAW. Begitu juga tentang menjilat tangan setelah makan, yang dicap jorok oleh sebagian orang modern. Nah, berikut ini kami saji­kan sejumlah hadits yang bertalian de­ngan hal tersebut.








Syarah Hadits



Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam bab Makanan bagian Makan sambil Bersandar.



Hadits ini menunjukkan adab Nabi SAW saat makan, yakni tidak menyan­dar­kan badan pada dinding atau sema­cam­nya, yang menunjukkan kemalasan, ke­sombongan, dan foya-foya. Ini hukum­nya makruh, meskipun mungkin merupa­kan hal yang biasa pada masyarakat tertentu.



Yang lebih menunjukkan adab ke­sopanan adalah duduk dengan menekuk lutut di atas lantai, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa sahabat Anas RA berkata, “Aku melihat Ra­sulullah SAW duduk dengan mene­kuk lututnya saat makan kurma.”



Hal yang demikian ini menunjukkan sikap tawadhu (rendah hati) di kala me­nikmati hidangan makanan dalam rang­ka mengikuti sunnah Nabi SAW.



Dari Ibn Abbas RA, ia berkata, “Ra­sulullah SAW bersabda, ‘Jika salah se­orang di antara kalian makan makanan, ja­nganlah membersihkan jari-jari ta­ngan­nya sebelum membersihkan ma­kan­an-makanan yang menempel di jari-jarinya itu’.” (Muttafaq ‘Alaih).



Syarah Hadits



Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam bab Makanan bagian Menjilati Jemari Tangan. Adapun Imam Muslim meriwayatkannya dalam bab Minuman bagian Bolehnya Menjilati Jari dan Nampan.



Berdasarkan hadits ini dibolehkan menjilati jari jemari seusai makan sebe­lum mencuci atau membersihkan jari-jari itu. Bahkan boleh juga menjilati sendok ma­kan yang digunakannya. Bahkan di­bolehkan menjilati jari jemari orang lain, jika orang lain itu adalah orang yang di­sa­yangi dan punya kelekatan hubungan dengannya, seperti anak, orangtua, guru, dan orang-orang yang dikasihi. Ke­napa? Karena dua hal, yakni karena mak­ruhnya meninggalkan sedikitpun dari sisa makanan yang disantap, dan ber-tabarruk (mengambil keberkahan) dari makanan dan dari orang-orang yang disebutkan itu, bila berkeinginan menji­lati jari-jari mereka.



Dari Ka’ab bin Malik RA, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW makan dengan tiga jari. Selesai makan, beliau menjilati sisa makanan yang menempel di jari-jarinya itu.” (Diriwayatkan Muslim).



Syarah Hadits



Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim da­lam bab Minuman bagian Bolehnya Men­jilati Jari Tangan dan Wajan Makan­an.



Dibolehkannya menjilati sisa makan­an yang menempel pada tangan adalah pada saat usai makan. Jika menjilatinya saat jeda, hendaknya tidak dilakukan, karena dapat menimbulkan rasa mual. Demikian pula dibolehkannya makan de­ngan tiga jari, yakni jempol, telunjuk, dan jari tengah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Ath-Thabarani. Itu adalah kebiasaan umum Nabi Muham­mad SAW, yang patut ditiru jika mampu, sebagai wujud mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Adapun makan de­ngan kurang dari tiga jari, hal itu me­nun­jukkan perbuatan sombong, seolah-olah enggan makan, yang merupakan bentuk rizqi yang Allah Ta‘ala berikan. Sedang­kan makan dengan menggunakan lebih dari tiga jari, menunjukkan keburukan dan kerakusan, yang hal itu seperti orang yang terburu-buru menghabiskan bagi­an­nya dalam makanan.



Dari Jabir RA, Rasulullah SAW menyuruh untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel pada jari-jari dan wajan. Dan beliau bersabda, “Sungguh kalian tidak tahu, pada bagian makanan yang mana yang mengandung keberkahan itu.” (Diriwayatkan Muslim).



Syarah Hadits



Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam bab Minuman bagian Bolehnya Menjilati Jari Tangan dan Wajan Makanan.



Bolehnya menjilati jari-jari tangan dan wajan makanan yang masih ada sisa makanan itu mengandung hikmah, yakni untuk mendapatkan keberkahan makanan dan menolak perbuatan yang menyia-nyiakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Hikmah lainnya adalah meng­ambil faidah seluruh bagian makanan, hingga tidak sedikit pun yang tersisa, karena kita tidak tahu pada bagian mana Allah Ta’ala jadikan keberkahan, kenik­matan, dan sebagainya dari makanan itu, serta menjadikan adab makan yang diajarkan dan dicontohkan Nabi SAW itu sebagai bentuk ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.



copas dari